Jumat, 11 Mei 2012

PENGHARGAAN SOSIAL SEMU TKI



Oleh Tri Marhaeni PA

Persoalan yang melingkupi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seperti jalan tak berujung. Lebih ironis lagi, hampir semua orang, termasuk para penentu kebijakan bersikap post factum: ramai-ramai berbicara ketika ada kasus. Pembicaraan mereka seperti direproduksi tiap ada kejadian, dan setelah pemberitaan mereda, langkah nyata yang diambil penentu kebijakan tak pernah jelas.
Kebijakan apa yang sudah dirumuskan untuk buruh migran? Kebijakan tentang TKI, atau untuk mereka? Bila sekadar menempelkan kata TKI dalam semua kebijakan, peraturan, penelitian, atau apa pun, sebenarnya kita baru berbicara tentang TKI karena implikasi dari semua itu tak secara langsung mereka rasakan.
Namun ketika semua hal terkait kebijakan, penelitian, peraturan, atau apa pun itu berimplikasi langsung, menyentuh kehidupan, terlebih mendengar dan mengakomodasi aspirasi mereka, kita sebenarnya sedang berbicara sesuatu untuk mereka.
Ketika penentu kebijakan hanya membicarakan atau ramai mendiskusikan masalah yang dialami TKI, kekerasan yang mereka alami di luar negeri, pendidikannya yang rendah, dan sebagainya sebenarnya kita baru mendiskusikan sesuatu tentang mereka. Namun ketika kebijakan itu mulai menyentuh keberadaannya, berimplikasi langsung, dan secara nyata mengubah nasib mereka maka itu adalah kebijakan untuk TKI.
Penghargaan Semu
Berbicara tentang penghargaan sosial tidak terlepas dari eksistensi atau keberadaan. Penghargaan sosial yang saya maksudkan adalah terhadap eksistensi dan keberadaan TKI/ TKW. Penghargaan sosial yang semu berarti penghargaan kepada seseorang (dalam hal ini TKI) bukan karena eksistensi, peran sosial, atau karena aspirasinya melainkan lebih kepada atribut yang dibutuhkan saat itu.
Kondisi itu sangat jelas, bahwa TKI/ TKW selalu disanjung sebagai penghasil devisa terbesar untuk negara. Mereka juga disebut pahlawan bagi keluarga dan masyarakat, yang secara otomatis meningkatkan status sosial kehidupan dan masyarakat pada umumnya. Mereka disanjung dan dihargai sebatas peran ekonominya, karena remitan berdampak luar biasa dalam kehidupan sosial masyarakat di kampungnya.
Tetapi menjadi sangat ironis ketika penyanjung TKI itu tak peduli terhadap apa yang dialami buruh migran tersebut di negara tujuan. Misalnya, apa yang mereka alami, kondisi pekerjaan, perlakuan majikan dan sebagainya. Seolah-olah semua kesulitan mereka di negara tujuan merupakan tanggung jawab masing-masing individu.
Seperti kasus yang sedang ramai dibicarakan: tiga TKI tewas karena ditembak di Malaysia dan diduga ada organ tubuhnya yang dijual. Temuan itu dimentahkan oleh Polri dengan menegaskan bahwa tubuh mereka lengkap. Hal ini menjadi antiklimaks perlindungan buruh migran di luar negeri. Seolah-olah negara malas mengurusi persolan mereka yang sudah meninggal karena persoalan TKI yang masih hidup pun banyak.
Situasi itu hampir tak pernah dipahami oleh para penentu kebijakan. Seharusnya tidak hanya menyalahkan TKI tetapi mencoba memahami mengapa mereka memilih menjadi buruh migran? Mengapa mereka nekat menyeberang lautan, menyeberang batas kultural dan geografis untuk bekerja yang tentu membawa dampak politis, sosial, budaya, tradisi, adat, kebiasaan, dan psikologis.
Pemerintah selayaknya mendengarkan keluhan mereka dan menindaklanjuti dengan kebijakan nyata. Jangan hanya menyanjung sebagai pahlawan devisa karena buruh migran itu, utamanya menjelang Idul Fitri, mengirim remitan triliunan rupiah, namun yang mereka inginkan dan alami tak pernah terungkapkan. Seolah-olah menjadi sebuah hidden transcript. (Sumber: Suara Merdeka, 02 Mei 2012).
Tentang penulis:
Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes, meneliti masalah TKI di Malaysia dan Singapura untuk disertasi berjudul ’’Redefinisi Eksistensi Perempuan Migran (Kasus TKW di Malaysia dan Singapura)’’

Tidak ada komentar: