Oleh
Tri Marhaeni PA
Persoalan
yang melingkupi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seperti jalan tak
berujung. Lebih ironis lagi, hampir semua orang, termasuk para penentu
kebijakan bersikap post factum: ramai-ramai berbicara ketika ada kasus.
Pembicaraan mereka seperti direproduksi tiap ada kejadian, dan setelah
pemberitaan mereda, langkah nyata yang diambil penentu kebijakan tak pernah
jelas.
Kebijakan
apa yang sudah dirumuskan untuk buruh migran? Kebijakan tentang TKI, atau untuk
mereka? Bila sekadar menempelkan kata TKI dalam semua kebijakan, peraturan,
penelitian, atau apa pun, sebenarnya kita baru berbicara tentang TKI karena
implikasi dari semua itu tak secara langsung mereka rasakan.
Namun ketika
semua hal terkait kebijakan, penelitian, peraturan, atau apa pun itu
berimplikasi langsung, menyentuh kehidupan, terlebih mendengar dan
mengakomodasi aspirasi mereka, kita sebenarnya sedang berbicara sesuatu untuk
mereka.
Ketika
penentu kebijakan hanya membicarakan atau ramai mendiskusikan masalah yang
dialami TKI, kekerasan yang mereka alami di luar negeri, pendidikannya yang
rendah, dan sebagainya sebenarnya kita baru mendiskusikan sesuatu tentang mereka.
Namun ketika kebijakan itu mulai menyentuh keberadaannya, berimplikasi
langsung, dan secara nyata mengubah nasib mereka maka itu adalah kebijakan
untuk TKI.
Penghargaan
Semu
Berbicara
tentang penghargaan sosial tidak terlepas dari eksistensi atau keberadaan.
Penghargaan sosial yang saya maksudkan adalah terhadap eksistensi dan
keberadaan TKI/ TKW. Penghargaan sosial yang semu berarti penghargaan kepada
seseorang (dalam hal ini TKI) bukan karena eksistensi, peran sosial, atau
karena aspirasinya melainkan lebih kepada atribut yang dibutuhkan saat itu.
Kondisi itu
sangat jelas, bahwa TKI/ TKW selalu disanjung sebagai penghasil devisa terbesar
untuk negara. Mereka juga disebut pahlawan bagi keluarga dan masyarakat, yang
secara otomatis meningkatkan status sosial kehidupan dan masyarakat pada
umumnya. Mereka disanjung dan dihargai sebatas peran ekonominya, karena remitan
berdampak luar biasa dalam kehidupan sosial masyarakat di kampungnya.
Tetapi
menjadi sangat ironis ketika penyanjung TKI itu tak peduli terhadap apa yang
dialami buruh migran tersebut di negara tujuan. Misalnya, apa yang mereka
alami, kondisi pekerjaan, perlakuan majikan dan sebagainya. Seolah-olah semua
kesulitan mereka di negara tujuan merupakan tanggung jawab masing-masing
individu.
Seperti
kasus yang sedang ramai dibicarakan: tiga TKI tewas karena ditembak di Malaysia
dan diduga ada organ tubuhnya yang dijual. Temuan itu dimentahkan oleh Polri
dengan menegaskan bahwa tubuh mereka lengkap. Hal ini menjadi antiklimaks
perlindungan buruh migran di luar negeri. Seolah-olah negara malas mengurusi
persolan mereka yang sudah meninggal karena persoalan TKI yang masih hidup pun
banyak.
Situasi itu
hampir tak pernah dipahami oleh para penentu kebijakan. Seharusnya tidak hanya
menyalahkan TKI tetapi mencoba memahami mengapa mereka memilih menjadi buruh
migran? Mengapa mereka nekat menyeberang lautan, menyeberang batas kultural dan
geografis untuk bekerja yang tentu membawa dampak politis, sosial, budaya,
tradisi, adat, kebiasaan, dan psikologis.
Pemerintah
selayaknya mendengarkan keluhan mereka dan menindaklanjuti dengan kebijakan
nyata. Jangan hanya menyanjung sebagai pahlawan devisa karena buruh migran itu,
utamanya menjelang Idul Fitri, mengirim remitan triliunan rupiah, namun yang
mereka inginkan dan alami tak pernah terungkapkan. Seolah-olah menjadi sebuah
hidden transcript. (Sumber: Suara Merdeka, 02 Mei 2012).
Tentang
penulis:
Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes, meneliti masalah TKI di Malaysia dan Singapura untuk disertasi berjudul ’’Redefinisi Eksistensi Perempuan Migran (Kasus TKW di Malaysia dan Singapura)’’
Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes, meneliti masalah TKI di Malaysia dan Singapura untuk disertasi berjudul ’’Redefinisi Eksistensi Perempuan Migran (Kasus TKW di Malaysia dan Singapura)’’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar