Oleh Tri Marhaeni PA
HAMPIR tiap
saat, dalam beberapa pekan terakhir ini kita disuguhi berita merebaknya aksi
demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM). Beberapa sikap diperlihatkan oleh masyarakat terhadap aksi-aksi
tersebut: ada yang mendukung, ada yang apatis, dan cenderung pasrah menerima
apa adanya.
Sikap kedua
itu sering kita jumpai. Masyarakat cenderung sudah bersikap masa bodoh, merasa
“tidak berdaya” dengan kondisi yang tercipta atau sengaja diciptakan oleh
struktur. Sebagai orang awam saya tak hendak memihak salah satu “aktor” yang
terlibat dalam aksi unjuk rasa, entah itu mahasiswa, anggota masyarakat,
ataupun anggota polisi.
Masyarakat
Antistruktur
Boleh
dikatakan masyarakat sedang berada dalam kondisi antistruktur, atau meminjam
istilah Victor Turner (1974), “masyarakat yang liminal”, yakni suatu kondisi
fase yang ambigu. Masyarakat mengalami fase liminal, fase transisi dari harga
BBM sebelum dinaikkan ke kondisi harga BBM setelah dinaikkan.
Mereka pun
“tidak merasa berada dalam kondisi sebelumnya, juga belum merasa dalam kondisi
yang baru diciptakan oleh struktur” sehingga masyarakat menjadi antistruktur.
Dalam fase inilah terjadi berbagai kegamangan dalam bersikap dan bertindak.
Terkait
dengan kondisi liminal dan kemerebakan demo mahasiswa, dapat dianalogikan
mahasiswa sebagai komunitas yang sedang dalam fase liminal, satu kaki masih
ingin menapaki harga BBM lama, sementara satu kaki lagi dipaksa untuk menapaki
harga BBM yang baru.
Kondisi
tersebut memicu kebingungan dalam menentukan pilihan. Masyarakat (yang diwakili
oleh mahasiswa) merasa belum siap melangkah ke struktur harga BBM yang baru,
sementara mau tidak mau mereka sudah harus dipaksa memasuki fase baru tersebut
sehingga menimbulkan “pemberontakan rasa”.
Dalam
kondisi antistruktur itulah banyak hal dimungkinkan terjadi, termasuk demo
menyuarakan rasa, kekerasan, bahkan anarkisme. Kalau sudah begini, maka
tanggung jawab ketertiban dan keamanan ada di pundak para polisi, yang justru
juga menjadi liminal karena menjadi bagian dari masyarakat yang antistruktur.
Anggota
polisi tidak siap dengan kondisi liminal yang dialami oleh masyarakat. Polisi
selalu berlindung di balik kata “sudah sesuai prosedur”. Hal ini bisa dipahami,
karena bekal yang didapat adalah berbagai macam aturan dan cara menangani
ketertiban dan keamanan masyarakat sesuai standar. Padahal masyarakat yang
sangat dinamis terkadang tak terprediksi tindakannya, seperti dalam kondisi
antistruktur saat ini.
Hal itulah
yang harus disadari oleh polisi yang bertugas menangani unjuk rasa sehingga
mereka tidak mengalami liminalitas dan ambiguitas dalam mengambil tindakan.
Liminalitas
Polisi
Polisi sudah
berusaha keras untuk menjaga ketertiban dan keamanan dengan berpegang teguh
pada standar pengamanan yang seharusnya dilakukan. Saya hanya ingin mengajak
semua pihak memahami bahwa polisi adalah manusia biasa, mahasiswa yang demo
juga manusia biasa, sehingga sudah sangat tepat ketika banyak pihak menganjurkan
saling mengendalikan diri.
Di tengah
kemerebakan aksi sekarang ini, kedua belah pihak seolah-olah “berhadapan”,
saling mengklaim kebenaran. Padahal sesungguhnya mereka sama-sama elemen
masyarakat yang menyuarakan kepentingan yang sama. Mahasiswa menyuarakan
jeritan hati rakyat (berarti juga jeritan hati polisi) yang terimpit kebutuhan
hidup akibat kenaikan harga BBM. Sementara polisi juga memikul beban tanggung
jawab menertibkan dan mengamankan keadaan masyarakat sekitar. Tak jarang polisi
juga berdalih demi kemanan pengguna jalan, demi keamanan masyarakat sekitar
maka polisi “terpaksa” menggunakan “sedikit kekerasan” dalam menangani aksi.
Dua kondisi yang tentu membingungkan dan dapat menyebabkan antistruktur!
Ketika
menangani suatu aksi unjuk rasa misalnya, polisi tidak boleh emosional, tidak
boleh represif, tidak boleh memukul. Harus selalu bersikap manis namun tegas,
harus tidak tersinggung dan sakit hati ketika dicaci-maki, harus selalu tahan
uji ketika dipukul dan dikeroyok oleh pendemo. Apakah ini keadaan yang
berimbang? Masyarakat lupa bahwa polisi juga manusia biasa yang bisa emosi,
jengkel, dan mempunyai rasa sakit. Ketika polisi membela diri misalnya dengan
memukul bisa dilaporkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Kondisi
tersebut tentu “membingungkan” dan membuat para polisi liminal. Liminalitas itu
terjadi manakala satu kaki harus melakukan penertiban dan pengamanan, sementara
kaki yang lain harus mendukung suara rakyat (yang juga dialaminya). Tentu ini
kondisi yang sangat sulit. Polisi harus berwatak dan berperasaan seperti baja
untuk tidak cengeng, harus bisa memisahkan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum. Andai tidak malu, mungkin mereka juga ingin “ikut menangis”
bersama rakyat menyikapi situasi antistruktur ini. (Sumber : Suara Merdeka)
— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti, MHum, dosen Jurusan Sosiolologi dan Antropologi FIS Unnes, dan dosen Akpol Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar