- Oleh Tri Marhaeni PA
KERUSUHAN
antara suporter klub sepak bola Liga Mesir, Al-Ahly dan Al-Masry di Port Said
yang merenggut nyawa 74 orang, Kamis lalu, menambah catatan kelam perjalanan
fanatisme pendukung olahraga terpopuler di dunia itu. Tragedi sepak bola di
Negeri Piramid itu menjadi salah satu yang paling berdarah di antara sejumlah
peristiwa serupa, dengan yang paling dikenang adalah Tragedi Heysel pada 1985.
Disebut-sebut,
kerusuhan itu diskenario oleh pihak militer. Para anggota militer dan polisi
dituding tidak melakukan upaya yang cukup untuk mencegah aksi amuk suporter.
Namun tulisan ini tidak akan mengupas tentang siapa yang salah dan siapa yang
memulai. Penulis mencoba mengajak untuk memahami mengapa suporter cenderung
mudah disulut ke dalam bentrokan.
Tentu dalam
ruang yang sempit ini tidak dapat dikupas secara detail tentang keterkaitan
berbagai faktor yang menjadi asal muasal bentrokan tersebut, namun
setidak-tidaknya catatan kecil ini bisa dijadikan bahan renungan untuk dapat
dipahami dan dicari solusinya.
Hegemoni
Pemain Idola
Seperti
dalam kerusuhan di Liga Mesir itu, ketika penonton berangkat dari rumah untuk
menyaksikan pertandingan sepak bola, di kepala mereka pastilah sudah tertanam
konstruksi pikiran untuk mendukung secara habis-habisan bintang idola atau tim
kesayangannya.
Perwujudan
hegemoni pikiran itu bisa bermacam-macam. Ada yang dengan berpenampilan kostum
aneh, unik, dan nyeleneh, ada yang mencoreng-moreng muka dan mengecat rambut
dengan warna-warni yang melambangkan simbolisasi tim kesayangannya. Atau juga
meniru habis-habisan model rambut bintang idolanya.
Representasi
identitas tersebut juga bisa berasal dari hegemoni bintang-bintang idola.
Bahkan penonton terhegemoni tingkah laku para pemain idola di lapangan. Pemain
yang “sangar” di lapangan juga akan menghegemoni penonton untuk meniru
“kesangaran” itu. “Kekasaran” atau “kebrutalan” pemain idola terkadang juga
memicu kekerasan, kekasaran, dan kebrutalan di luar lapangan. Penonton terhegemoni
tingkah laku dan heroisme —kalau tidak boleh dibilang kebrutalan permainan—
jalanannya pertandingan.
Apalagi
kalau publik sudah memberikan stigma “sangar” dan julukan lain yang berbau
“heroik” dan “brutal” maka si penerima julukan terkadang justru menyuburkan
“kesangaran” atau stigmanya agar menjadi pusat perhatian dan berharap ditakuti
pemain lawan. Sering stigma atau image terhadap pemain juga menyuburkan
“kegilaan” pemain tersebut untuk tetap mempertahankan stigma itu walau stigma
jelek sekalipun. Penulis mencontohkan, misalnya perilaku “brutal” pemain Real
Madrid, Pepe.
Pola pikir
ini menghegemoni penonton dengan sangat luar biasa. Tak jarang penonton justru
menyuburkan “kesangaran-kesangaran” itu dengan cara lebih ekstrem yang akhirnya
memicu keberingasan. Penonton merasa bangga karena menjadi pusat perhatian
penonton lain atau bahkan kelompok suporter lawan atau kelompok suporter
lainnya.
Mereka yang
menjadi pusat perhatian ini mengalami euforia superioritas yang luar biasa.
Mereka berlomba “kesangaran”, keberingasan, dan heroisme. Terlebih lagi jika
“kesangaran” menjadi penekan psikologi suporter lawan. Atmosfer seperti ini
menimbulkan perasaan “bangga” dan merasa menjadi “hero”. Dampaknya mereka
menjadi tidak terkontrol, beringas, dan anarkis demi menyuburkan “rasa
superioritas” itu.
Representasi
Identitas
Di sisi
lain, penampilan suporter lengkap dengan segala tetek bengek atributnya, dapat
dijadikan trend setter bagi masyarakat atau remaja atau penggemar bola lainnya.
Penampilan kostum yang ngejreng, dandanan yang meriah, dan perlengkapan lain
yang menonjol ternyata juga menyuburkan kapitalisme industri mode. Para
suporter menjadi “kapstok berjalan” yang merepresentasikan produk-produk
indutri sepak bola dengan gratis namun berdampak luar biasa.
Kegegapgempitaan
lapangan juga menyuburkan narsisme supporter untuk membuat ulah yang nyeleneh
dan menarik perhatian dengan harapan akan diliput media. Dan, itu menimbulkan
kepuasan tersendiri di dalam rasa superioritas mereka.
Tampaknya
euforia superioritas dan rasa heroik serta ingin menjadi pusat perhatian yang
terbingkai dalam semangat mendukung tim kesayangan dan pemain kesayangan inilah
yang memicu keberingasan. Di sisi lain balutan produk mode dalam industri
kapitalisme sepak bola ikut menyuburkan keberingasan dan kebrutalan. Sayangnya,
keberingasan suporter tidak hanya berlangsung di dalam lapangan, akan tetapi
terbawa ke luar lapangan. Bahkan sejak keberangkatan mereka sudah mulai
mempertontonkan “keberingasan”, bahkan “kegilaan” mereka dengan menantang
bahaya lengkap dengan kostum dan atributnya.
Keinginan
menjadi pusat perhatian sudah dimulai sejak keberangkatan, dan makin
tersuburkan ketika gegap gempita pertandingan berlangsung. Ketika pertandingan
usai “keberingasan” dan “kegilaan” mereka tak juga usai. Bagi suporter yang tim
kesayangannya menang, mereka mengekspresikan diri dengan merusak apa saja yang
ditemui di sepanjang perjalanan mereka sebagai ungkapan euforia keberhasilan.
Sementara suporter yang timnya kalah meluapkan kekecewaan dan kegusarannya
bahkan lebih anarkis lagi.
Perilaku
tersebut merupakan cermin representasi identitas yang mencari perhatian dan
merasa “tidak ada yang ditakuti”, bahkan ketua kelompok suporter sekalipun
sudah tidak bisa menjangkau akal sehat para anak buahnya itu.
Stadion
sepak bola, seringkali beralih fungsi menjadi “ajang” pelepasan beban-beban
hidup. Di luar suporter yang memang menyuporteri tim kesayangannya, bukan tidak
mungkin juga banyak yang datang ke stadion sebagai “penumpang gelap” untuk
menyublimasikan luapan persoalan kesehariannya. Jadi, sepak bola bukan tujuan.
Dan, jika benar kerusuhan di Mesir itu ditumpangi oleh kepentingan politik
tertentu, sekali lagi terbukti sepak bola dijadikan “kendaraan” untuk
menyublimasi sebuah tujuan.
Ketika
korban jatuh, seperti tragedi di Liga Mesir itu, kita selalu seperti disadarkan
tentang posisi sepak bola yang sangat kompleks. Juga betapa complicated-nya
persoalan persuporteran, sehingga terkadang sulit dijangkau hanya dari
pendekatan pengamanan kegiatan olahraga yang penuh nilai-nilai sportsmanship.(Sumber: Suara Merdeka)
— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Antropologi dan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar