Jumat, 11 Mei 2012

"HEGEMONI PIKIRAN" RUSUH BOLA


  • Oleh Tri Marhaeni PA

KERUSUHAN antara suporter klub sepak bola Liga Mesir, Al-Ahly dan Al-Masry di Port Said yang merenggut nyawa 74 orang, Kamis lalu, menambah catatan kelam perjalanan fanatisme pendukung olahraga terpopuler di dunia itu. Tragedi sepak bola di Negeri Piramid itu menjadi salah satu yang paling berdarah di antara sejumlah peristiwa serupa, dengan yang paling dikenang adalah Tragedi Heysel pada 1985.
Disebut-sebut, kerusuhan itu diskenario oleh pihak militer. Para anggota militer dan polisi dituding tidak melakukan upaya yang cukup untuk mencegah aksi amuk suporter. Namun tulisan ini tidak akan mengupas tentang siapa yang salah dan siapa yang memulai. Penulis mencoba mengajak untuk memahami mengapa suporter cenderung mudah disulut ke dalam bentrokan.
Tentu dalam ruang yang sempit ini tidak dapat dikupas secara detail tentang keterkaitan berbagai faktor yang menjadi asal muasal bentrokan tersebut, namun setidak-tidaknya catatan kecil ini bisa dijadikan bahan renungan untuk dapat dipahami dan dicari solusinya.
Hegemoni Pemain Idola
Seperti dalam kerusuhan di Liga Mesir itu, ketika penonton berangkat dari rumah untuk menyaksikan pertandingan sepak bola, di kepala mereka pastilah sudah tertanam konstruksi pikiran untuk mendukung secara habis-habisan bintang idola atau tim kesayangannya.
Perwujudan hegemoni pikiran itu bisa bermacam-macam. Ada yang dengan berpenampilan kostum aneh, unik, dan nyeleneh, ada yang mencoreng-moreng muka dan mengecat rambut dengan warna-warni yang melambangkan simbolisasi tim kesayangannya. Atau juga meniru habis-habisan model rambut bintang idolanya.
Representasi identitas tersebut juga bisa berasal dari hegemoni bintang-bintang idola. Bahkan penonton terhegemoni tingkah laku para pemain idola di lapangan. Pemain yang “sangar” di lapangan juga akan menghegemoni penonton untuk meniru “kesangaran” itu. “Kekasaran” atau “kebrutalan” pemain idola terkadang juga memicu kekerasan, kekasaran, dan kebrutalan di luar lapangan. Penonton terhegemoni tingkah laku dan heroisme —kalau tidak boleh dibilang kebrutalan permainan— jalanannya pertandingan.
Apalagi kalau publik sudah memberikan stigma “sangar” dan julukan lain yang berbau “heroik” dan “brutal” maka si penerima julukan terkadang justru menyuburkan “kesangaran” atau stigmanya agar menjadi pusat perhatian dan berharap ditakuti pemain lawan. Sering stigma atau image terhadap pemain juga menyuburkan “kegilaan” pemain tersebut untuk tetap mempertahankan stigma itu walau stigma jelek sekalipun. Penulis mencontohkan, misalnya perilaku “brutal” pemain Real Madrid, Pepe.
Pola pikir ini menghegemoni penonton dengan sangat luar biasa. Tak jarang penonton justru menyuburkan “kesangaran-kesangaran” itu dengan cara lebih ekstrem yang akhirnya memicu keberingasan. Penonton merasa bangga karena menjadi pusat perhatian penonton lain atau bahkan kelompok suporter lawan atau kelompok suporter lainnya.
Mereka yang menjadi pusat perhatian ini mengalami euforia superioritas yang luar biasa. Mereka berlomba “kesangaran”, keberingasan, dan heroisme. Terlebih lagi jika “kesangaran” menjadi penekan psikologi suporter lawan. Atmosfer seperti ini menimbulkan perasaan “bangga” dan merasa menjadi “hero”. Dampaknya mereka menjadi tidak terkontrol, beringas, dan anarkis demi menyuburkan “rasa superioritas” itu.
Representasi Identitas
Di sisi lain, penampilan suporter lengkap dengan segala tetek bengek atributnya, dapat dijadikan trend setter bagi masyarakat atau remaja atau penggemar bola lainnya. Penampilan kostum yang ngejreng, dandanan yang meriah, dan perlengkapan lain yang menonjol ternyata juga menyuburkan kapitalisme industri mode. Para suporter menjadi “kapstok berjalan” yang merepresentasikan produk-produk indutri sepak bola dengan gratis namun berdampak luar biasa.
Kegegapgempitaan lapangan juga menyuburkan narsisme supporter untuk membuat ulah yang nyeleneh dan menarik perhatian dengan harapan akan diliput media. Dan, itu menimbulkan kepuasan tersendiri di dalam rasa superioritas mereka.
Tampaknya euforia superioritas dan rasa heroik serta ingin menjadi pusat perhatian yang terbingkai dalam semangat mendukung tim kesayangan dan pemain kesayangan inilah yang memicu keberingasan. Di sisi lain balutan produk mode dalam industri kapitalisme sepak bola ikut menyuburkan keberingasan dan kebrutalan. Sayangnya, keberingasan suporter tidak hanya berlangsung di dalam lapangan, akan tetapi terbawa ke luar lapangan. Bahkan sejak keberangkatan mereka sudah mulai mempertontonkan “keberingasan”, bahkan “kegilaan” mereka dengan menantang bahaya lengkap dengan kostum dan atributnya.
Keinginan menjadi pusat perhatian sudah dimulai sejak keberangkatan, dan makin tersuburkan ketika gegap gempita pertandingan berlangsung. Ketika pertandingan usai “keberingasan” dan “kegilaan” mereka tak juga usai. Bagi suporter yang tim kesayangannya menang, mereka mengekspresikan diri dengan merusak apa saja yang ditemui di sepanjang perjalanan mereka sebagai ungkapan euforia keberhasilan. Sementara suporter yang timnya kalah meluapkan kekecewaan dan kegusarannya bahkan lebih anarkis lagi.
Perilaku tersebut merupakan cermin representasi identitas yang mencari perhatian dan merasa “tidak ada yang ditakuti”, bahkan ketua kelompok suporter sekalipun sudah tidak bisa menjangkau akal sehat para anak buahnya itu.
Stadion sepak bola, seringkali beralih fungsi menjadi “ajang” pelepasan beban-beban hidup. Di luar suporter yang memang menyuporteri tim kesayangannya, bukan tidak mungkin juga banyak yang datang ke stadion sebagai “penumpang gelap” untuk menyublimasikan luapan persoalan kesehariannya. Jadi, sepak bola bukan tujuan. Dan, jika benar kerusuhan di Mesir itu ditumpangi oleh kepentingan politik tertentu, sekali lagi terbukti sepak bola dijadikan “kendaraan” untuk menyublimasi sebuah tujuan.
Ketika korban jatuh, seperti tragedi di Liga Mesir itu, kita selalu seperti disadarkan tentang posisi sepak bola yang sangat kompleks. Juga betapa complicated-nya persoalan persuporteran, sehingga terkadang sulit dijangkau hanya dari pendekatan pengamanan kegiatan olahraga yang penuh nilai-nilai sportsmanship.(Sumber: Suara Merdeka)

— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Antropologi dan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes

Tidak ada komentar: