Oleh
Tri Marhaeni PA
Pemberitaan
aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di berbagai
daerah oleh media-media elektronik, mengetengahkan dua keping “wajah”. Pertama;
sikap represif aparat terhadap mahasiswa yang cenderung mirip dengan
“perburuan”. Kedua; aksi pengunjuk rasa yang menyampaikan tuntutannya diikuti
oleh bias semangat berupa sikap-sikap yang berkecenderungan anarkis, terutama
menghadapi polisi.
Liputan aksi
demonstrasi itu memantulkan realitas dunia media, betapa pada era pemberitaan
yang serbatransparan ini tak ada lagi sekat konsumsi berita oleh publik.
Seperti akibat umum yang timbul dari kapitalisme industri apa pun, pengaruh
pemberitaan media juga membawa dampak ibarat pedang bermata dua.
Keterbukaan
pemberitaan itu pula misalnya, membawa berbagai dampak, baik positif maupun
negatif. Apa pun itu, pemberitaan media merupakan senjata ampuh untuk membentuk
wacana publik. Salah satu yang saya soroti lewat tulisan ini adalah peliputan
tentang merebaknya aksi demo mahasiswa.
Bumerang
Pemberitaan
Media, baik
cetak maupun elektronik berusaha keras menyajikan keseimbangan peliputan,
berupa sikap tidak memihak, baik kepada pendemo maupun polisi. Masyarakat bisa
merasakan, pemberitaan sudah demikian terbuka dan objektif. Klarifikasi dari
kedua belah pihak juga diberitakan secara imbang.
Satu sisi
yang patut kita telaah, ketika suatu saat berita menampilkan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat dalam menangani aksi demo mahasiswa di suatu tempat atau
kampus, berita tersebut bisa memicu ’’kebencian terhadap aparat”, kemudian
menyulut lagi “rasa dendam” yang menjalari mahasiswa untuk menjadi hero bagi
teman-temannya yang menjadi objek kekerasan aparat. Akibatnya, tentulah ada
sebagian mahasiswa yang membawa rasa dendam di lapangan ketika mereka berunjuk
rasa.
Terbayang
tayangan kekerasan aparat terhadap teman sesama mahasiswa, mereka berdemo tidak
saja dengan spirit memperjuangkan suara rakyat, tetapi juga semangat mengungkapkan
“rasa dendamnya” kepada aparat sebagai bentuk solidaritas antarmahasiswa. Yang
terjadi kemudian adalah sikap anarkis dan menyerang aparat polisi, bahkan
menyakiti dengan sengaja. Bahkan ketika polisi tidak melakukan apa pun alias
hanya berdiam diri, ketika mahasiswa tersebut mencoba menendang seorang polisi
(seperti tayangan di beberapa stasiun televisi).
Sebaliknya,
adegan seorang pendemo yang melakukan kekerasan kepada aparat dan ditayangkan
berulang-ulang secara terang, tentu juga memicu “rasa dendam” para anggota
polisi dan keluarga besar polisi untuk “tidak terima” dan menuding bahwa
kebrutalan itu layak dihadapi dengan tindakan represif. Implikasinya, ketika
menangani demo, yang terbayang adalah adengan rekan polisinya yang teraniaya.
Lingkaran Tak
Berujung
Kondisi
semacam itu ibarat lingkaran yang tak berujung: saling terbakar rasa, saling
tersinggung, dan saling ingin menunjukkan diri sebagai pahlawan pembela bagi
sejawatnya. Saya menyadari, teknik peliputan media dengan memberi ruang yang
sama sebenarnya diniatkan agar berlangsung sebuah penyiaran yang imbang
sehingga kedua belah pihak tidak saling menyalahkan.
Namun proses
itu ternyata bisa menjadi bumerang. Dari sisi ini, media seolah-olah ikut
memicu berjuta rasa ketika menampilkan berbagai adegan kekerasan dalam aksi
demo secara bergantian. Seakan-akan selalu ada amunisi baru untuk menambah dan
“menyuburkan rasa” (benci, dendam, tidak terima, jengkel, dan sebagainya)
setiap melihat tayangan kekerasan yang secara bergantian dilakukan oleh pengunjuk
rasa ataupun polisi.
Dari
perspektif wacana ini, media pun sesungguhnya berada dalam posisi serbasalah
dan dalam kondisi yang —dalam teori Victor Turner— liminal juga. Yakni kondisi
ketika memberitakan secara terbuka salah, tidak secara apa adanya juga salah.
Oleh karena
itu, yang bisa dilakukan adalah membangun kesadaran kolektif: apa pun profesi
dan tugas kita, semuanya adalah manusia biasa yang punya rasa, kekurangan, dan
kelebihan, dengan harapan marilah “mengelola rasa” untuk semua hal yang akan kita
lakukan.
Dari sisi
teori dan perkembangan perilaku praktik media, kembali menoleh ke spirit
“jurnalisme damai” merupakan pilihan bijak. Di tengah beragam realitas publik
yang akan diangkat sebagai wacana media, para jurnalis berusaha mengeksplorasi
untuk menemukan semaksimal mungkin kebaikan, dan meminimalisasi kerugian yang
mungkin timbul.
Sikap
demikian diharapkan bisa meminimalkan keliminalan kita semua, agar siap masuk
dalam struktur baru yang sengaja diciptakan agar kita tidak terkurung dalam
kondisi masyarakat antistruktur secara terus-menerus. Memang tidak semudah
membalikkan telapak tangan, tetapi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, siapa
lagi yang akan memulai? (Sumber: Suara Merdeka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar