"Esensinya
adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan
menulis, tentulah bukan perkara sulit"
MENULIS untuk jurnal ilmiah, haruskah menunggu teladan dari guru besar? Pertanyaan ini mengusik saya untuk menanggapi tulisan Laksmi Widajanti di halaman ’’Wacana’’ Suara Merdeka, Jumat, 24 Februari 2012. Membaca judulnya, ”Teladan Jurnal Guru Besar”, saya berpikir, ”Mau menulis di jurnal ilmiah saja, mengapa harus menunggu teladan guru besar?” Bukankah menulis publikasi karya ilmiah sudah menjadi kewajiban tiap insan akademik, dan apalagi dosen?
Bahkan, mengutip Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Djoko Santoso di Universitas Negeri Semarang beberapa waktu lalu, sarjana ”ora nulis, ora ilok...” Ungkapan itu diangkat sebagai ’’Tajuk Rencana’’ Suara Merdeka 17 Februari, yang kemudian menjadi bahasan interaktif tajuk harian itu di TVKU, 23 Februari petang.
Apakah kalau para profesor tidak memberi teladan menulis di jurnal ilmiah, lalu dosen yunior dan mahasiswa tidak mau menulis? Menulis tentu tidak harus menunggu ”dipaksa”. Andai pikiran liar itu saya suburkan maka pertanyaan berikutnya, ”Bukankah menulis tidak harus di jurnal ilmiah? Bukankah berbagi ilmu dari para profesor tidak harus berupa artikel di jurnal, tetapi bisa melalui artikel ilmiah populer untuk koran atau majalah, karena yang penting adalah substansi tulisan itu?”
Bukankah para profesor juga sudah memberikan keteladanan lewat berbagai forum, misalnya seminar, pelatihan, atau pengajaran? Semua itu tentu butuh tulisan. Ada beberapa profesor —yang juga guru saya— meskipun sudah emeritus, tetap aktif menulis, seperti Prof Retmono, Prof Abu Su’ud, Prof Eko Budihardjo, bahkan Prof Suhanjati Sukri yang berbagi ilmu di rubrik konsultasi ’’Suara Perempuan’’ di Suara Merdeka.
Kebiasaan Menulis
Esensinya adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan menulis, tentulah bukan perkara sulit. Namun bagi yang hanya mengajar, dan melakukan kegiatan tri darma perguruan tingggi menunggu ”dibuatkan” oleh yuniornya, barang tentu menulis menjadi persoalan tersendiri. Bahkan menulis tidak di jurnal ilmiah pun bisa dianggap sebagai pekerjaan berat.
Saya bukan tidak setuju dengan tulisan Laksmi Widajanti. Persoalannya, yang diklaim ”selama ini ada kecenderungan bila sudah meraih jabatan fungsional akademik, seorang profesor menganggap dirinya pensiun, tidak ada upaya meng-up date ilmu apalagi meneliti”, guru besar yang manakah itu?
Sekarang terdapat kecenderungan gelar akademik tertinggi ini diraih oleh dosen berusia relatif lebih muda. Jangan-jangan kecenderungan ini juga diklaim lagi, ”Karena tunjangan fungsional profesor tinggi, maka dosen berlomba-lomba menjadi profesor”. Tentu sah-sah saja selama secara akademis memenuhi syarat. Dan, begitu seseorang menjadi profesor, menusiawi jika mereka ”berjeda sejenak untuk tidak menulis di jurnal ilmiah”, karena untuk menjadi profesor mereka sudah berjibaku menulis di jurnal nasional dan internasional.
Juga tidak semua profesor merasa harus ”berjeda” mengambil napas refreshing. Banyak yang makin produktif, meskipun energi kreatif itu tidak selalu tercurah ke jurnal ilmiah. Tidak sedikit yang menjadi narasumber seminar, membimbing penelitian dosen muda, dan menulis ilmiah populer di media massa. Ketika mau naik pangkat atau golongan, dari IVD ke IVE juga harus membuat karya ilmiah, termasuk guru besar perpanjangan yang harus menulis di jurnal internasional, atau menulis buku ilmiah yang dipakai di tiga perguruan tinggi.
Sekarang para guru besar juga menjadi editor ahli atau mitra bebestari jurnal ilmiah. Tidak cukupkah itu menjadi teladan?
Saya setuju tidak semua guru besar meneliti terus, dan menulis di jurnal ilmiah terus, tetapi harus dikemukakan fakta masih jauh lebih banyak yang produktif ketimbang yang ”beristirahat”.
Saya juga khawatir masyarakat masih memberikan standar ganda. Seolah-olah profesor adalah jabatan yang “harus selalu benar”, “tidak boleh sembarangan”, juga penilaian-penilaian yang bersifat image. Nanti ada profesor makan nasi kucing dibilang “profesor kok makan nasi kucing”, mencuci mobil dibilang “profesor kok nyuci mobil sendiri”. Padahal contoh-contoh itu, bagi sang profesor boleh jadi juga merupakan sebuah “kegembiraan ilmiah” karena ia menyikapi pilihan makanan yang tidak berkolesterol, dan mencuci mobil dianggap olahraga.
“Kegembiraan ilmiah” bagi seorang guru besar antara lain ketika berbagi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Prof Satjipto Rahardjo (alm) pernah menulis tentang “amal ilmiah, ilmu amaliah”. Jadi jika seorang profesor tidak berbagi ilmu melalui medium apa pun, juga ’’ora ilok’’. Bukankah akademisi, dosen, dan mahasiswa, terlebih seorang profesor akan menjadi brand image perguruan tingginya? Disadari atau tidak, ketika seorang profesor publish melalui berbagai tulisan atau kegiatan ilmiahnya, akan menjadi public relations tersendiri bagi kampusnya.
Memang masih ada anggapan, pendapat seorang profesor adalah “wahyu” yang tidak boleh dikritik, apalagi dibantah. Tetapi kecenderungan usia profesor yang makin muda menciptakan keegaliteran, dan terbuka terhadap kritik, Bergantung bagaimana membahasakannya.
Seorang profesor mengamalkan ilmu di berbagai forum dan aneka kegiatan merupakan keniscayaan, tidak hanya menulis di jurnal ilmiah. Dan, itu merupakan “sanjungan ilmiah” tersendiri bagi para guru besar. (Sumber:Suara Merdeka)
— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
MENULIS untuk jurnal ilmiah, haruskah menunggu teladan dari guru besar? Pertanyaan ini mengusik saya untuk menanggapi tulisan Laksmi Widajanti di halaman ’’Wacana’’ Suara Merdeka, Jumat, 24 Februari 2012. Membaca judulnya, ”Teladan Jurnal Guru Besar”, saya berpikir, ”Mau menulis di jurnal ilmiah saja, mengapa harus menunggu teladan guru besar?” Bukankah menulis publikasi karya ilmiah sudah menjadi kewajiban tiap insan akademik, dan apalagi dosen?
Bahkan, mengutip Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Djoko Santoso di Universitas Negeri Semarang beberapa waktu lalu, sarjana ”ora nulis, ora ilok...” Ungkapan itu diangkat sebagai ’’Tajuk Rencana’’ Suara Merdeka 17 Februari, yang kemudian menjadi bahasan interaktif tajuk harian itu di TVKU, 23 Februari petang.
Apakah kalau para profesor tidak memberi teladan menulis di jurnal ilmiah, lalu dosen yunior dan mahasiswa tidak mau menulis? Menulis tentu tidak harus menunggu ”dipaksa”. Andai pikiran liar itu saya suburkan maka pertanyaan berikutnya, ”Bukankah menulis tidak harus di jurnal ilmiah? Bukankah berbagi ilmu dari para profesor tidak harus berupa artikel di jurnal, tetapi bisa melalui artikel ilmiah populer untuk koran atau majalah, karena yang penting adalah substansi tulisan itu?”
Bukankah para profesor juga sudah memberikan keteladanan lewat berbagai forum, misalnya seminar, pelatihan, atau pengajaran? Semua itu tentu butuh tulisan. Ada beberapa profesor —yang juga guru saya— meskipun sudah emeritus, tetap aktif menulis, seperti Prof Retmono, Prof Abu Su’ud, Prof Eko Budihardjo, bahkan Prof Suhanjati Sukri yang berbagi ilmu di rubrik konsultasi ’’Suara Perempuan’’ di Suara Merdeka.
Kebiasaan Menulis
Esensinya adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan menulis, tentulah bukan perkara sulit. Namun bagi yang hanya mengajar, dan melakukan kegiatan tri darma perguruan tingggi menunggu ”dibuatkan” oleh yuniornya, barang tentu menulis menjadi persoalan tersendiri. Bahkan menulis tidak di jurnal ilmiah pun bisa dianggap sebagai pekerjaan berat.
Saya bukan tidak setuju dengan tulisan Laksmi Widajanti. Persoalannya, yang diklaim ”selama ini ada kecenderungan bila sudah meraih jabatan fungsional akademik, seorang profesor menganggap dirinya pensiun, tidak ada upaya meng-up date ilmu apalagi meneliti”, guru besar yang manakah itu?
Sekarang terdapat kecenderungan gelar akademik tertinggi ini diraih oleh dosen berusia relatif lebih muda. Jangan-jangan kecenderungan ini juga diklaim lagi, ”Karena tunjangan fungsional profesor tinggi, maka dosen berlomba-lomba menjadi profesor”. Tentu sah-sah saja selama secara akademis memenuhi syarat. Dan, begitu seseorang menjadi profesor, menusiawi jika mereka ”berjeda sejenak untuk tidak menulis di jurnal ilmiah”, karena untuk menjadi profesor mereka sudah berjibaku menulis di jurnal nasional dan internasional.
Juga tidak semua profesor merasa harus ”berjeda” mengambil napas refreshing. Banyak yang makin produktif, meskipun energi kreatif itu tidak selalu tercurah ke jurnal ilmiah. Tidak sedikit yang menjadi narasumber seminar, membimbing penelitian dosen muda, dan menulis ilmiah populer di media massa. Ketika mau naik pangkat atau golongan, dari IVD ke IVE juga harus membuat karya ilmiah, termasuk guru besar perpanjangan yang harus menulis di jurnal internasional, atau menulis buku ilmiah yang dipakai di tiga perguruan tinggi.
Sekarang para guru besar juga menjadi editor ahli atau mitra bebestari jurnal ilmiah. Tidak cukupkah itu menjadi teladan?
Saya setuju tidak semua guru besar meneliti terus, dan menulis di jurnal ilmiah terus, tetapi harus dikemukakan fakta masih jauh lebih banyak yang produktif ketimbang yang ”beristirahat”.
Saya juga khawatir masyarakat masih memberikan standar ganda. Seolah-olah profesor adalah jabatan yang “harus selalu benar”, “tidak boleh sembarangan”, juga penilaian-penilaian yang bersifat image. Nanti ada profesor makan nasi kucing dibilang “profesor kok makan nasi kucing”, mencuci mobil dibilang “profesor kok nyuci mobil sendiri”. Padahal contoh-contoh itu, bagi sang profesor boleh jadi juga merupakan sebuah “kegembiraan ilmiah” karena ia menyikapi pilihan makanan yang tidak berkolesterol, dan mencuci mobil dianggap olahraga.
“Kegembiraan ilmiah” bagi seorang guru besar antara lain ketika berbagi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Prof Satjipto Rahardjo (alm) pernah menulis tentang “amal ilmiah, ilmu amaliah”. Jadi jika seorang profesor tidak berbagi ilmu melalui medium apa pun, juga ’’ora ilok’’. Bukankah akademisi, dosen, dan mahasiswa, terlebih seorang profesor akan menjadi brand image perguruan tingginya? Disadari atau tidak, ketika seorang profesor publish melalui berbagai tulisan atau kegiatan ilmiahnya, akan menjadi public relations tersendiri bagi kampusnya.
Memang masih ada anggapan, pendapat seorang profesor adalah “wahyu” yang tidak boleh dikritik, apalagi dibantah. Tetapi kecenderungan usia profesor yang makin muda menciptakan keegaliteran, dan terbuka terhadap kritik, Bergantung bagaimana membahasakannya.
Seorang profesor mengamalkan ilmu di berbagai forum dan aneka kegiatan merupakan keniscayaan, tidak hanya menulis di jurnal ilmiah. Dan, itu merupakan “sanjungan ilmiah” tersendiri bagi para guru besar. (Sumber:Suara Merdeka)
— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar