Sabtu, 26 Mei 2012

Pengumuman SNMPTN Jalur Undangan

HASIL SELEKSI NASIONAL MASUK PERGURUAN TINGGI NEGERI

(SNMPTN) 2012 -  JALUR UNDANGAN
Jakarta, 26 Mei 2012

Proses seleksi  SNMPTN 2012 Jalur Undangan telah selesai dilaksanakan.  Secara umum telah berjalan dengan lancar dan tidak menemui kendala yang berarti.  Ucapan terima kasih disampaikan kepada Mendikbud, Dirjen Dikti, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) atas kepercayaan dan dukungan yang diberikan untuk penyelenggaraan SNMPTN 2012.  Beberapa data dan informasi hasil seleksi SNMPTN 2012  sebagai berikut :
  1. Jumlah pendaftar SNMPTN 2012Jalur Undangan sebanyak 236.811orang    termasukdidalamnya siswa penerima Program Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi yang mendaftar Jalur Undangan ( sebanyak  75.034 orang), sedangkan jumlah pendaftar yang  dinyatakan lulus seleksi sebanyak 53.401 (22,55 %), termasuk didalamnya siswa penerima Program Bidikmisi  {sebanyak 15.313 ( 20,41 %) }.
  2. Dibandingkan dengan SNMPTN 2011 jumlah pendaftar Jalur Undangan SNMPTN 2012 meningkat sekitar 9 %,  sebagian besar diantaranya dari penerima Program  Bidikmisi yang  naik  sebesar  7 %.
  3. Pendaftar yang dinyatakan lulus seleksiJalur Undangan SNMPTN 2012/diterima di 61 PTN penyelenggara, selanjutnya harus mendaftar ulang (registrasi) di PTN penerima  pada tanggal 12-13 Juni 2012. Informasi lengkap terkait dengan daftar ulang bagi peserta yang dinyatakan diterima  pada Jalur Undangan SNMPTN 2012 dapat dilihat  di laman (web site) masing-masing PTN.
  4. Khusus pelaksanaan Seleksi Jalur Ujian Tertulis , diinformasikan  bahwa hingga Jumat. 26 Mei pukul 11.23  sebanyak 397.601 PIN dan KAP  pembayaran biaya ujian telah dikeluarkan terdiri atas IPA/IPS : 276.521 dan IPC : 121.080 , diluar pelamar Bidikmisi. Bagi calon/peminat  yang telah memiliki PIN dan KAP harus  segeramelakukan pendaftaran online untuk menghindari kepadatan akses pada akhir jadwal pendaftaran yang  akan ditutup pada tanggal 31 Mei 2012.
  5. Pengumuman hasil SNMPTN 2012  Jalur Undangan dapat diakses mulai tanggal 26 Mei  2012  pukul  17.00 WIB dengan alamat website pengumuman hasil seleksi  : http://www.snmptn.ac.id  serta melalui media cetak/online  yang meliput kegiatan SNMPTN  2012 mulai  hari Sabtu,  tanggal 26 Mei 2012 .

Bidang Sosialisasi dan Humas
Panitia SNMPTN 2012 (sumber Website SNMPTN 2012)

Rabu, 23 Mei 2012

EVALUASI KE DUA MATERI PEMBELAJARAN IPA DI SD

 
EVALUASI KE DUA UPBJJ UT BUMIJAWA
JAWABLAH DENGAN BENAR
1.       Sebuah pembangkit listrik tenaga angin mempunyai efisiensi sebesar 30 %,jika daya maksimal dari pembangkit listrik 200 kw.Hitunglah besar daya yang dihasilkan.
2.       Sebuah bendungan air berada pada ketinggian 200m.Bendungan tersebut dimanfaatkan sebagai tenaga listrik yang menjatuhkan 1 m3 air per detik dan gravitasi bumi 9,8 m/s2.Tentukan daya listrik yang dihasilkan oleh genertor bila mempunyai efisiensi a.100%,b.80% dan c. 60%.
3.       Asumsi dari energi pembelahan uranium U235 adalah 300Mev.Hitunglah a) banyaknya fisi untuk menghasilkan daya sebesar satu watt,b) energi yang dihasilkan dari pembelahan 1 kg U 235.
4.       Tarif pemakaian listrik rumah tangga yang umum dari PLN tercantum diantaranya daya terpasang 900 watt dengan perincian pemakai sbb:
a.       Harga tiap kwh Rp.400,-
b.      Biaya administrasi Rp.2.500,-
c.       Bea matere Rp. 6000
d.      Retribusi penerangan jalan rp.2000,-
Penggunaan listrik :
1.       Lampu 300 w selama 10 jam/hari.
2.       Setrika 250 w selama 3 jam/hari
3.       Kulkas 150 w selama 24 jam/hari
4.       Lain-lain 200 w selama 5 jam/hari.
Hitunglah biaya rekening listrik untuk pemakaian bulan Juni.
5.    Hitunglah tarif/biaya pemakaian listrik pada rumah anda masing-masing,sesuai dengan penggunaanya.

KETERANGAN:
JAWABAN DITULIS DIKERTAS FOLIO 
DIKUMPULKAN PADA HARI SENIN, 11 JUNI 2012. (BERSAMAAN EVALUASI KE SATU, BAGI YANG BELUM MENGUMPULKAN)

Jumat, 11 Mei 2012

LIMINALITAS UNJUK RASA BBM


Oleh Tri Marhaeni PA 

HAMPIR tiap saat, dalam beberapa pekan terakhir ini kita disuguhi berita merebaknya aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Beberapa sikap diperlihatkan oleh masyarakat terhadap aksi-aksi tersebut: ada yang mendukung, ada yang apatis, dan cenderung pasrah menerima apa adanya.
Sikap kedua itu sering kita jumpai. Masyarakat cenderung sudah bersikap masa bodoh, merasa “tidak berdaya” dengan kondisi yang tercipta atau sengaja diciptakan oleh struktur. Sebagai orang awam saya tak hendak memihak salah satu “aktor” yang terlibat dalam aksi unjuk rasa, entah itu mahasiswa, anggota masyarakat, ataupun anggota polisi.
Masyarakat Antistruktur
Boleh dikatakan masyarakat sedang berada dalam kondisi antistruktur, atau meminjam istilah Victor Turner (1974), “masyarakat yang liminal”, yakni suatu kondisi fase yang ambigu. Masyarakat mengalami fase liminal, fase transisi dari harga BBM sebelum dinaikkan ke kondisi harga BBM setelah dinaikkan.
Mereka pun “tidak merasa berada dalam kondisi sebelumnya, juga belum merasa dalam kondisi yang baru diciptakan oleh struktur” sehingga masyarakat menjadi antistruktur. Dalam fase inilah terjadi berbagai kegamangan dalam bersikap dan bertindak.
Terkait dengan kondisi liminal dan kemerebakan demo mahasiswa, dapat dianalogikan mahasiswa sebagai komunitas yang sedang dalam fase liminal, satu kaki masih ingin menapaki harga BBM lama, sementara satu kaki lagi dipaksa untuk menapaki harga BBM yang baru.
Kondisi tersebut memicu kebingungan dalam menentukan pilihan. Masyarakat (yang diwakili oleh mahasiswa) merasa belum siap melangkah ke struktur harga BBM yang baru, sementara mau tidak mau mereka sudah harus dipaksa memasuki fase baru tersebut sehingga menimbulkan “pemberontakan rasa”.
Dalam kondisi antistruktur itulah banyak hal dimungkinkan terjadi, termasuk demo menyuarakan rasa, kekerasan, bahkan anarkisme. Kalau sudah begini, maka tanggung jawab ketertiban dan keamanan ada di pundak para polisi, yang justru juga menjadi liminal karena menjadi bagian dari masyarakat yang antistruktur.
Anggota polisi tidak siap dengan kondisi liminal yang dialami oleh masyarakat. Polisi selalu berlindung di balik kata “sudah sesuai prosedur”. Hal ini bisa dipahami, karena bekal yang didapat adalah berbagai macam aturan dan cara menangani ketertiban dan keamanan masyarakat sesuai standar. Padahal masyarakat yang sangat dinamis terkadang tak terprediksi tindakannya, seperti dalam kondisi antistruktur saat ini.
Hal itulah yang harus disadari oleh polisi yang bertugas menangani unjuk rasa sehingga mereka tidak mengalami liminalitas dan ambiguitas dalam mengambil tindakan.
Liminalitas Polisi
Polisi sudah berusaha keras untuk menjaga ketertiban dan keamanan dengan berpegang teguh pada standar pengamanan yang seharusnya dilakukan. Saya hanya ingin mengajak semua pihak memahami bahwa polisi adalah manusia biasa, mahasiswa yang demo juga manusia biasa, sehingga sudah sangat tepat ketika banyak pihak menganjurkan saling mengendalikan diri.
Di tengah kemerebakan aksi sekarang ini, kedua belah pihak seolah-olah “berhadapan”, saling mengklaim kebenaran. Padahal sesungguhnya mereka sama-sama elemen masyarakat yang menyuarakan kepentingan yang sama. Mahasiswa menyuarakan jeritan hati rakyat (berarti juga jeritan hati polisi) yang terimpit kebutuhan hidup akibat kenaikan harga BBM. Sementara polisi juga memikul beban tanggung jawab menertibkan dan mengamankan keadaan masyarakat sekitar. Tak jarang polisi juga berdalih demi kemanan pengguna jalan, demi keamanan masyarakat sekitar maka polisi “terpaksa” menggunakan “sedikit kekerasan” dalam menangani aksi. Dua kondisi yang tentu membingungkan dan dapat menyebabkan antistruktur!
Ketika menangani suatu aksi unjuk rasa misalnya, polisi tidak boleh emosional, tidak boleh represif, tidak boleh memukul. Harus selalu bersikap manis namun tegas, harus tidak tersinggung dan sakit hati ketika dicaci-maki, harus selalu tahan uji ketika dipukul dan dikeroyok oleh pendemo. Apakah ini keadaan yang berimbang? Masyarakat lupa bahwa polisi juga manusia biasa yang bisa emosi, jengkel, dan mempunyai rasa sakit. Ketika polisi membela diri misalnya dengan memukul bisa dilaporkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Kondisi tersebut tentu “membingungkan” dan membuat para polisi liminal. Liminalitas itu terjadi manakala satu kaki harus melakukan penertiban dan pengamanan, sementara kaki yang lain harus mendukung suara rakyat (yang juga dialaminya). Tentu ini kondisi yang sangat sulit. Polisi harus berwatak dan berperasaan seperti baja untuk tidak cengeng, harus bisa memisahkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Andai tidak malu, mungkin mereka juga ingin “ikut menangis” bersama rakyat menyikapi situasi antistruktur ini. (Sumber : Suara Merdeka)

— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti, MHum, dosen Jurusan Sosiolologi dan Antropologi FIS Unnes, dan dosen Akpol Semarang

"HEGEMONI PIKIRAN" RUSUH BOLA


  • Oleh Tri Marhaeni PA

KERUSUHAN antara suporter klub sepak bola Liga Mesir, Al-Ahly dan Al-Masry di Port Said yang merenggut nyawa 74 orang, Kamis lalu, menambah catatan kelam perjalanan fanatisme pendukung olahraga terpopuler di dunia itu. Tragedi sepak bola di Negeri Piramid itu menjadi salah satu yang paling berdarah di antara sejumlah peristiwa serupa, dengan yang paling dikenang adalah Tragedi Heysel pada 1985.
Disebut-sebut, kerusuhan itu diskenario oleh pihak militer. Para anggota militer dan polisi dituding tidak melakukan upaya yang cukup untuk mencegah aksi amuk suporter. Namun tulisan ini tidak akan mengupas tentang siapa yang salah dan siapa yang memulai. Penulis mencoba mengajak untuk memahami mengapa suporter cenderung mudah disulut ke dalam bentrokan.
Tentu dalam ruang yang sempit ini tidak dapat dikupas secara detail tentang keterkaitan berbagai faktor yang menjadi asal muasal bentrokan tersebut, namun setidak-tidaknya catatan kecil ini bisa dijadikan bahan renungan untuk dapat dipahami dan dicari solusinya.
Hegemoni Pemain Idola
Seperti dalam kerusuhan di Liga Mesir itu, ketika penonton berangkat dari rumah untuk menyaksikan pertandingan sepak bola, di kepala mereka pastilah sudah tertanam konstruksi pikiran untuk mendukung secara habis-habisan bintang idola atau tim kesayangannya.
Perwujudan hegemoni pikiran itu bisa bermacam-macam. Ada yang dengan berpenampilan kostum aneh, unik, dan nyeleneh, ada yang mencoreng-moreng muka dan mengecat rambut dengan warna-warni yang melambangkan simbolisasi tim kesayangannya. Atau juga meniru habis-habisan model rambut bintang idolanya.
Representasi identitas tersebut juga bisa berasal dari hegemoni bintang-bintang idola. Bahkan penonton terhegemoni tingkah laku para pemain idola di lapangan. Pemain yang “sangar” di lapangan juga akan menghegemoni penonton untuk meniru “kesangaran” itu. “Kekasaran” atau “kebrutalan” pemain idola terkadang juga memicu kekerasan, kekasaran, dan kebrutalan di luar lapangan. Penonton terhegemoni tingkah laku dan heroisme —kalau tidak boleh dibilang kebrutalan permainan— jalanannya pertandingan.
Apalagi kalau publik sudah memberikan stigma “sangar” dan julukan lain yang berbau “heroik” dan “brutal” maka si penerima julukan terkadang justru menyuburkan “kesangaran” atau stigmanya agar menjadi pusat perhatian dan berharap ditakuti pemain lawan. Sering stigma atau image terhadap pemain juga menyuburkan “kegilaan” pemain tersebut untuk tetap mempertahankan stigma itu walau stigma jelek sekalipun. Penulis mencontohkan, misalnya perilaku “brutal” pemain Real Madrid, Pepe.
Pola pikir ini menghegemoni penonton dengan sangat luar biasa. Tak jarang penonton justru menyuburkan “kesangaran-kesangaran” itu dengan cara lebih ekstrem yang akhirnya memicu keberingasan. Penonton merasa bangga karena menjadi pusat perhatian penonton lain atau bahkan kelompok suporter lawan atau kelompok suporter lainnya.
Mereka yang menjadi pusat perhatian ini mengalami euforia superioritas yang luar biasa. Mereka berlomba “kesangaran”, keberingasan, dan heroisme. Terlebih lagi jika “kesangaran” menjadi penekan psikologi suporter lawan. Atmosfer seperti ini menimbulkan perasaan “bangga” dan merasa menjadi “hero”. Dampaknya mereka menjadi tidak terkontrol, beringas, dan anarkis demi menyuburkan “rasa superioritas” itu.
Representasi Identitas
Di sisi lain, penampilan suporter lengkap dengan segala tetek bengek atributnya, dapat dijadikan trend setter bagi masyarakat atau remaja atau penggemar bola lainnya. Penampilan kostum yang ngejreng, dandanan yang meriah, dan perlengkapan lain yang menonjol ternyata juga menyuburkan kapitalisme industri mode. Para suporter menjadi “kapstok berjalan” yang merepresentasikan produk-produk indutri sepak bola dengan gratis namun berdampak luar biasa.
Kegegapgempitaan lapangan juga menyuburkan narsisme supporter untuk membuat ulah yang nyeleneh dan menarik perhatian dengan harapan akan diliput media. Dan, itu menimbulkan kepuasan tersendiri di dalam rasa superioritas mereka.
Tampaknya euforia superioritas dan rasa heroik serta ingin menjadi pusat perhatian yang terbingkai dalam semangat mendukung tim kesayangan dan pemain kesayangan inilah yang memicu keberingasan. Di sisi lain balutan produk mode dalam industri kapitalisme sepak bola ikut menyuburkan keberingasan dan kebrutalan. Sayangnya, keberingasan suporter tidak hanya berlangsung di dalam lapangan, akan tetapi terbawa ke luar lapangan. Bahkan sejak keberangkatan mereka sudah mulai mempertontonkan “keberingasan”, bahkan “kegilaan” mereka dengan menantang bahaya lengkap dengan kostum dan atributnya.
Keinginan menjadi pusat perhatian sudah dimulai sejak keberangkatan, dan makin tersuburkan ketika gegap gempita pertandingan berlangsung. Ketika pertandingan usai “keberingasan” dan “kegilaan” mereka tak juga usai. Bagi suporter yang tim kesayangannya menang, mereka mengekspresikan diri dengan merusak apa saja yang ditemui di sepanjang perjalanan mereka sebagai ungkapan euforia keberhasilan. Sementara suporter yang timnya kalah meluapkan kekecewaan dan kegusarannya bahkan lebih anarkis lagi.
Perilaku tersebut merupakan cermin representasi identitas yang mencari perhatian dan merasa “tidak ada yang ditakuti”, bahkan ketua kelompok suporter sekalipun sudah tidak bisa menjangkau akal sehat para anak buahnya itu.
Stadion sepak bola, seringkali beralih fungsi menjadi “ajang” pelepasan beban-beban hidup. Di luar suporter yang memang menyuporteri tim kesayangannya, bukan tidak mungkin juga banyak yang datang ke stadion sebagai “penumpang gelap” untuk menyublimasikan luapan persoalan kesehariannya. Jadi, sepak bola bukan tujuan. Dan, jika benar kerusuhan di Mesir itu ditumpangi oleh kepentingan politik tertentu, sekali lagi terbukti sepak bola dijadikan “kendaraan” untuk menyublimasi sebuah tujuan.
Ketika korban jatuh, seperti tragedi di Liga Mesir itu, kita selalu seperti disadarkan tentang posisi sepak bola yang sangat kompleks. Juga betapa complicated-nya persoalan persuporteran, sehingga terkadang sulit dijangkau hanya dari pendekatan pengamanan kegiatan olahraga yang penuh nilai-nilai sportsmanship.(Sumber: Suara Merdeka)

— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Antropologi dan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes

KEGEMBIRAAN ILMIAH GURU BESAR

Oleh Tri Marhaeni PA 
 
"Esensinya adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan menulis, tentulah bukan perkara sulit"


MENULIS untuk jurnal ilmiah, haruskah menunggu teladan dari guru besar? Pertanyaan ini mengusik saya untuk menanggapi tulisan Laksmi Widajanti di halaman ’’Wacana’’ Suara Merdeka, Jumat, 24 Februari 2012. Membaca judulnya, ”Teladan Jurnal Guru Besar”, saya berpikir, ”Mau menulis di jurnal ilmiah saja, mengapa harus menunggu teladan guru besar?” Bukankah menulis publikasi karya ilmiah sudah menjadi kewajiban tiap insan akademik, dan apalagi dosen?

Bahkan, mengutip Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Djoko Santoso di Universitas Negeri Semarang beberapa waktu lalu, sarjana ”ora nulis, ora ilok...” Ungkapan itu diangkat sebagai ’’Tajuk Rencana’’ Suara Merdeka 17 Februari, yang kemudian menjadi bahasan interaktif tajuk harian itu di TVKU, 23 Februari petang.

Apakah kalau para profesor tidak memberi teladan menulis di jurnal ilmiah, lalu dosen yunior dan mahasiswa tidak mau menulis? Menulis tentu tidak harus menunggu ”dipaksa”. Andai pikiran liar itu saya suburkan maka pertanyaan berikutnya, ”Bukankah menulis tidak harus di jurnal ilmiah? Bukankah berbagi ilmu dari para profesor tidak harus berupa artikel di jurnal, tetapi bisa melalui artikel ilmiah populer untuk koran atau majalah, karena yang penting adalah substansi tulisan itu?”

Bukankah para profesor juga sudah memberikan keteladanan lewat berbagai forum, misalnya seminar, pelatihan, atau pengajaran? Semua itu tentu butuh tulisan. Ada beberapa profesor —yang juga guru saya— meskipun sudah emeritus, tetap aktif menulis, seperti Prof Retmono, Prof Abu Su’ud, Prof Eko Budihardjo, bahkan Prof Suhanjati Sukri yang berbagi ilmu di rubrik konsultasi ’’Suara Perempuan’’ di Suara Merdeka.

Kebiasaan Menulis

Esensinya adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan menulis, tentulah bukan perkara sulit. Namun bagi yang hanya mengajar, dan melakukan kegiatan tri darma perguruan tingggi menunggu ”dibuatkan” oleh yuniornya, barang tentu menulis menjadi persoalan tersendiri. Bahkan menulis tidak di jurnal ilmiah pun bisa dianggap sebagai pekerjaan berat.

Saya bukan tidak setuju dengan tulisan Laksmi Widajanti. Persoalannya, yang diklaim ”selama ini ada kecenderungan bila sudah meraih jabatan fungsional akademik, seorang profesor menganggap dirinya pensiun, tidak ada upaya meng-up date ilmu apalagi meneliti”, guru besar yang manakah itu?

Sekarang terdapat kecenderungan gelar akademik tertinggi ini diraih oleh dosen berusia relatif lebih muda. Jangan-jangan kecenderungan ini juga diklaim lagi, ”Karena tunjangan fungsional profesor tinggi, maka dosen berlomba-lomba menjadi profesor”. Tentu sah-sah saja selama secara akademis memenuhi syarat. Dan, begitu seseorang menjadi profesor, menusiawi jika mereka ”berjeda sejenak untuk tidak menulis di jurnal ilmiah”, karena untuk menjadi profesor mereka sudah berjibaku menulis di jurnal nasional dan internasional.

Juga tidak semua profesor merasa harus ”berjeda” mengambil napas refreshing. Banyak yang makin produktif, meskipun energi kreatif itu tidak selalu tercurah ke jurnal ilmiah. Tidak sedikit yang menjadi narasumber seminar, membimbing penelitian dosen muda, dan menulis ilmiah populer di media massa. Ketika mau naik pangkat atau golongan, dari IVD ke IVE juga harus membuat karya ilmiah, termasuk guru besar perpanjangan yang harus menulis di jurnal internasional, atau menulis buku ilmiah yang dipakai di tiga perguruan tinggi.

Sekarang para guru besar juga menjadi editor ahli atau mitra bebestari jurnal ilmiah. Tidak cukupkah itu menjadi teladan?

Saya setuju tidak semua guru besar meneliti terus, dan menulis di jurnal ilmiah terus, tetapi harus dikemukakan fakta masih jauh lebih banyak yang produktif ketimbang yang ”beristirahat”.

Saya juga khawatir masyarakat masih memberikan standar ganda. Seolah-olah profesor adalah jabatan yang “harus selalu benar”, “tidak boleh sembarangan”, juga penilaian-penilaian yang bersifat image. Nanti ada profesor makan nasi kucing dibilang “profesor kok makan nasi kucing”, mencuci mobil dibilang “profesor kok nyuci mobil sendiri”. Padahal contoh-contoh itu, bagi sang profesor boleh jadi juga merupakan sebuah “kegembiraan ilmiah” karena ia menyikapi pilihan makanan yang tidak berkolesterol, dan mencuci mobil dianggap olahraga.

“Kegembiraan ilmiah” bagi seorang guru besar antara lain ketika berbagi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Prof Satjipto Rahardjo (alm) pernah menulis tentang “amal ilmiah, ilmu amaliah”. Jadi jika seorang profesor tidak berbagi ilmu melalui medium apa pun, juga ’’ora ilok’’. Bukankah akademisi, dosen, dan mahasiswa, terlebih seorang profesor akan menjadi brand image perguruan tingginya? Disadari atau tidak, ketika seorang profesor publish melalui berbagai tulisan atau kegiatan ilmiahnya, akan menjadi public relations tersendiri bagi kampusnya.

Memang masih ada anggapan, pendapat seorang profesor adalah “wahyu” yang tidak boleh dikritik, apalagi dibantah. Tetapi kecenderungan usia profesor yang makin muda menciptakan keegaliteran, dan terbuka terhadap kritik, Bergantung bagaimana membahasakannya.

Seorang profesor mengamalkan ilmu di berbagai forum dan aneka kegiatan merupakan keniscayaan, tidak hanya menulis di jurnal ilmiah. Dan, itu merupakan “sanjungan ilmiah” tersendiri bagi para guru besar. (Sumber:Suara Merdeka)

— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes



LINGKAR BERITA UNJUK RASA


Oleh Tri Marhaeni PA
Pemberitaan aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di berbagai daerah oleh media-media elektronik, mengetengahkan dua keping “wajah”. Pertama; sikap represif aparat terhadap mahasiswa yang cenderung mirip dengan “perburuan”. Kedua; aksi pengunjuk rasa yang menyampaikan tuntutannya diikuti oleh bias semangat berupa sikap-sikap yang berkecenderungan anarkis, terutama menghadapi polisi.
Liputan aksi demonstrasi itu memantulkan realitas dunia media, betapa pada era pemberitaan yang serbatransparan ini tak ada lagi sekat konsumsi berita oleh publik. Seperti akibat umum yang timbul dari kapitalisme industri apa pun, pengaruh pemberitaan media juga membawa dampak ibarat pedang bermata dua.
Keterbukaan pemberitaan itu pula misalnya, membawa berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Apa pun itu, pemberitaan media merupakan senjata ampuh untuk membentuk wacana publik. Salah satu yang saya soroti lewat tulisan ini adalah peliputan tentang merebaknya aksi demo mahasiswa.
Bumerang Pemberitaan
Media, baik cetak maupun elektronik berusaha keras menyajikan keseimbangan peliputan, berupa sikap tidak memihak, baik kepada pendemo maupun polisi. Masyarakat bisa merasakan, pemberitaan sudah demikian terbuka dan objektif. Klarifikasi dari kedua belah pihak juga diberitakan secara imbang.
Satu sisi yang patut kita telaah, ketika suatu saat berita menampilkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam menangani aksi demo mahasiswa di suatu tempat atau kampus, berita tersebut bisa memicu ’’kebencian terhadap aparat”, kemudian menyulut lagi “rasa dendam” yang menjalari mahasiswa untuk menjadi hero bagi teman-temannya yang menjadi objek kekerasan aparat. Akibatnya, tentulah ada sebagian mahasiswa yang membawa rasa dendam di lapangan ketika mereka berunjuk rasa.
Terbayang tayangan kekerasan aparat terhadap teman sesama mahasiswa, mereka berdemo tidak saja dengan spirit memperjuangkan suara rakyat, tetapi juga semangat mengungkapkan “rasa dendamnya” kepada aparat sebagai bentuk solidaritas antarmahasiswa. Yang terjadi kemudian adalah sikap anarkis dan menyerang aparat polisi, bahkan menyakiti dengan sengaja. Bahkan ketika polisi tidak melakukan apa pun alias hanya berdiam diri, ketika mahasiswa tersebut mencoba menendang seorang polisi (seperti tayangan di beberapa stasiun televisi).
Sebaliknya, adegan seorang pendemo yang melakukan kekerasan kepada aparat dan ditayangkan berulang-ulang secara terang, tentu juga memicu “rasa dendam” para anggota polisi dan keluarga besar polisi untuk “tidak terima” dan menuding bahwa kebrutalan itu layak dihadapi dengan tindakan represif. Implikasinya, ketika menangani demo, yang terbayang adalah adengan rekan polisinya yang teraniaya.
Lingkaran Tak Berujung
Kondisi semacam itu ibarat lingkaran yang tak berujung: saling terbakar rasa, saling tersinggung, dan saling ingin menunjukkan diri sebagai pahlawan pembela bagi sejawatnya. Saya menyadari, teknik peliputan media dengan memberi ruang yang sama sebenarnya diniatkan agar berlangsung sebuah penyiaran yang imbang sehingga kedua belah pihak tidak saling menyalahkan.
Namun proses itu ternyata bisa menjadi bumerang. Dari sisi ini, media seolah-olah ikut memicu berjuta rasa ketika menampilkan berbagai adegan kekerasan dalam aksi demo secara bergantian. Seakan-akan selalu ada amunisi baru untuk menambah dan “menyuburkan rasa” (benci, dendam, tidak terima, jengkel, dan sebagainya) setiap melihat tayangan kekerasan yang secara bergantian dilakukan oleh pengunjuk rasa ataupun polisi.
Dari perspektif wacana ini, media pun sesungguhnya berada dalam posisi serbasalah dan dalam kondisi yang —dalam teori Victor Turner— liminal juga. Yakni kondisi ketika memberitakan secara terbuka salah, tidak secara apa adanya juga salah.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah membangun kesadaran kolektif: apa pun profesi dan tugas kita, semuanya adalah manusia biasa yang punya rasa, kekurangan, dan kelebihan, dengan harapan marilah “mengelola rasa” untuk semua hal yang akan kita lakukan.
Dari sisi teori dan perkembangan perilaku praktik media, kembali menoleh ke spirit “jurnalisme damai” merupakan pilihan bijak. Di tengah beragam realitas publik yang akan diangkat sebagai wacana media, para jurnalis berusaha mengeksplorasi untuk menemukan semaksimal mungkin kebaikan, dan meminimalisasi kerugian yang mungkin timbul.
Sikap demikian diharapkan bisa meminimalkan keliminalan kita semua, agar siap masuk dalam struktur baru yang sengaja diciptakan agar kita tidak terkurung dalam kondisi masyarakat antistruktur secara terus-menerus. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, siapa lagi yang akan memulai? (Sumber: Suara Merdeka).

PENGHARGAAN SOSIAL SEMU TKI



Oleh Tri Marhaeni PA

Persoalan yang melingkupi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seperti jalan tak berujung. Lebih ironis lagi, hampir semua orang, termasuk para penentu kebijakan bersikap post factum: ramai-ramai berbicara ketika ada kasus. Pembicaraan mereka seperti direproduksi tiap ada kejadian, dan setelah pemberitaan mereda, langkah nyata yang diambil penentu kebijakan tak pernah jelas.
Kebijakan apa yang sudah dirumuskan untuk buruh migran? Kebijakan tentang TKI, atau untuk mereka? Bila sekadar menempelkan kata TKI dalam semua kebijakan, peraturan, penelitian, atau apa pun, sebenarnya kita baru berbicara tentang TKI karena implikasi dari semua itu tak secara langsung mereka rasakan.
Namun ketika semua hal terkait kebijakan, penelitian, peraturan, atau apa pun itu berimplikasi langsung, menyentuh kehidupan, terlebih mendengar dan mengakomodasi aspirasi mereka, kita sebenarnya sedang berbicara sesuatu untuk mereka.
Ketika penentu kebijakan hanya membicarakan atau ramai mendiskusikan masalah yang dialami TKI, kekerasan yang mereka alami di luar negeri, pendidikannya yang rendah, dan sebagainya sebenarnya kita baru mendiskusikan sesuatu tentang mereka. Namun ketika kebijakan itu mulai menyentuh keberadaannya, berimplikasi langsung, dan secara nyata mengubah nasib mereka maka itu adalah kebijakan untuk TKI.
Penghargaan Semu
Berbicara tentang penghargaan sosial tidak terlepas dari eksistensi atau keberadaan. Penghargaan sosial yang saya maksudkan adalah terhadap eksistensi dan keberadaan TKI/ TKW. Penghargaan sosial yang semu berarti penghargaan kepada seseorang (dalam hal ini TKI) bukan karena eksistensi, peran sosial, atau karena aspirasinya melainkan lebih kepada atribut yang dibutuhkan saat itu.
Kondisi itu sangat jelas, bahwa TKI/ TKW selalu disanjung sebagai penghasil devisa terbesar untuk negara. Mereka juga disebut pahlawan bagi keluarga dan masyarakat, yang secara otomatis meningkatkan status sosial kehidupan dan masyarakat pada umumnya. Mereka disanjung dan dihargai sebatas peran ekonominya, karena remitan berdampak luar biasa dalam kehidupan sosial masyarakat di kampungnya.
Tetapi menjadi sangat ironis ketika penyanjung TKI itu tak peduli terhadap apa yang dialami buruh migran tersebut di negara tujuan. Misalnya, apa yang mereka alami, kondisi pekerjaan, perlakuan majikan dan sebagainya. Seolah-olah semua kesulitan mereka di negara tujuan merupakan tanggung jawab masing-masing individu.
Seperti kasus yang sedang ramai dibicarakan: tiga TKI tewas karena ditembak di Malaysia dan diduga ada organ tubuhnya yang dijual. Temuan itu dimentahkan oleh Polri dengan menegaskan bahwa tubuh mereka lengkap. Hal ini menjadi antiklimaks perlindungan buruh migran di luar negeri. Seolah-olah negara malas mengurusi persolan mereka yang sudah meninggal karena persoalan TKI yang masih hidup pun banyak.
Situasi itu hampir tak pernah dipahami oleh para penentu kebijakan. Seharusnya tidak hanya menyalahkan TKI tetapi mencoba memahami mengapa mereka memilih menjadi buruh migran? Mengapa mereka nekat menyeberang lautan, menyeberang batas kultural dan geografis untuk bekerja yang tentu membawa dampak politis, sosial, budaya, tradisi, adat, kebiasaan, dan psikologis.
Pemerintah selayaknya mendengarkan keluhan mereka dan menindaklanjuti dengan kebijakan nyata. Jangan hanya menyanjung sebagai pahlawan devisa karena buruh migran itu, utamanya menjelang Idul Fitri, mengirim remitan triliunan rupiah, namun yang mereka inginkan dan alami tak pernah terungkapkan. Seolah-olah menjadi sebuah hidden transcript. (Sumber: Suara Merdeka, 02 Mei 2012).
Tentang penulis:
Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes, meneliti masalah TKI di Malaysia dan Singapura untuk disertasi berjudul ’’Redefinisi Eksistensi Perempuan Migran (Kasus TKW di Malaysia dan Singapura)’’

Selasa, 01 Mei 2012

PELEPASAN KLAS XII SMA WANASARI BREBES

SMA 1 Wanasari Lepas Siswa Kelas XII
Ditulis oleh Administrator   
BREBES - Lulus dari sekolah bukan berarti bebas dari tugas, masa depan yang gemilang harus disongsong dengan usaha dan doa. Kelulusan tersebut sejatinya bukan akhir dari perjuangan. Namun, pijakan awal untuk merajut masa depan yang lebih cerah.
Demikian pesan Kepala SMAN 1 Wanasari Sadimin SPd MMEng saat acara perpisahan yang digelar di Aula Islamic Centre Brebes, Senin (30/4). "Setelah meninggalkan sekolah ini, kami berpesan pegang teguh keimanan, amalkan ilmu serta raihlah cita-cita setinggi langit. Tapi ingat, di mana bumi dipijak, maka di situlah langit dijunjung. Semoga semuanya bisa lulus 100 persen," kata Sadimin.
Dalam acara tersebut diisi berbagai macam pentas kesenian oleh siswa, guru dan para alumni. Tak hanya menampilkan yang biasa saja, darama kocak ala Opera Van Java dan drama Jaka Tarub juga turut mewarnai kemeriahan kegiatan.
Siswa kelas XII SMAN 1 Wanasari yang telah mengikutu Ujian Nasional (UN) beberapa waktu lalu sebanyak 186 dari jumlah keseluruhan siswa 494 orang. (ism)
(SUMBER: RADAR TEGAL)