Oleh Treni, Fitria, dan Mar’atuwidya
Kemerebakan tawur antarpelajar/ mahasiswa mengundang keprihatinan banyak pihak. Terlebih penyikapan cerdas agar kejadian itu tidak terulang merupakan proses panjang, terutama berkait tindakan pencegahan ataupun upaya penyelesaian.
Pelaku tawur merupakan bagian dari lembaga pendidikan, dan sistem pendidikan nasional mencakup keseluruhan komponen pendidikan yang saling berkait demi mencapai tujuan bersama. Realitasnya, fokus pendidikan kita masih mengejar target kompetensi akademik, belum banyak menyentuh pendidikan karakter. Merupakan kesalahan besar bila ada anggapan bahwa pendidikan karakter hanya untuk jenjang pendidikan dasar. Pada jenjang SD, kita bisa melihat guru mendidik, membina, dan mengajar murid dengan kasih sayang.
Setelah peserta didik itu melanjutkan ke SMP dan SMA/ SMK, pendidikan karakter seakan-akan menjadi tugas dan tanggung jawab guru mapel Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan guru mapel Pendidikan Agama. Demikian halnya bila ada peserta didik melanggar tata tertib sekolah maka yang menangani, termasuk menjatuhkan sanksi adalah guru BP/ BK.
Dalam praktik hanya ada ’’sedikit’’ guru di satuan pendidikan yang peduli terhadap peserta didik, kendati sekolah merupakan rumah kedua. Guru pun bisa kita anggap sebagai orang tua kedua. Karena itu, membangun karakter peserta didik menjadi tugas bersama pendidik dan orang tua, guna mempersiapkan generasi berkarakter, sekaligus beriman dan cerdas.
Karena itu, diperlukan sinergitas secara konkret untuk bisa mencegah, atau mengatasi perkelahian antarpelajar/ mahasiswa. Pasalnya, pelajar dan mahasiswa merupakan generasi penerus yang diharapkan berkarakter unggul, mengedepankan logika dalam berpikir dan bertindak, serta bisa mengendalikan emosi.
Menyikapi kemerebakan tawuran antarpelajar/ mahasiswa, sebaiknya guru dan dosen introspeksi apakah sudah melaksanakan tugas secara maksimal. Sudahkan guru atau dosen memanusiakan peserta didik/ mahasiswa, menghargai, memotivasi, dan memberi kesempatan mereka beradu argumen?
Yang tidak kalah penting adalah dialog langsung untuk mendengarkan aspirasi mereka. Pasalnya, guru dan dosen kadang lebih disibukkan oleh kegiatan mentransfer ilmu semata, dan sebagian mengabaikan arti penting membangun komunikasi setara dengan siswa dan mahasiswa.
Peran Masyarakat
Untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, kita harus mengimplementasikan pendidikan karakter di semua mata pelajaran guna menghindari kesenjangan. Hal tersebut mengingat visi dan misi satuan pendidikan bermuara pada ketercapaian peserta didik yang berkarakter mulia, sekaligus cerdas dan beriman.
Di sisi lain, masyarakat seyogianya aktif dan memberi dukungan terkait dengan pelaksanaan pendidikan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. Perwujudan itu bisa dengan cara melibatkan pelajar/ mahasiswa dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Terlebih mahasiswa yang lebih bisa menggunakan akal sehat, logika, dan nurani sebelum bertindak atau mengambil keputusan. Hal ini berbeda dari kebanyakan siswa SMP atau SMA/ SMK, terkait dengan tingkat kedewasaan mereka, yang berpengaruh terhadap emosi dan ego.
Pihak sekolah dan kampus sebaiknya menjatuhkan sanksi tegas tapi mendidik bila ada siswa atau mahasiswa terlibat tawuran. Pemberian sanksi sebaiknya berjenjang sesuai dengan kadar kenakalan mereka. Pihak kampus juga bisa memfasilitasi mahasiswa supaya mengikuti kegiatan yang positif, semisal seminar, penelitian, kegiatan olahraga, rekreatif, dan sebagainya. Lebih baik lagi bila kegiatan itu bisa mengekspresikan potensi mereka. Pola serupa bisa diterapkan untuk siswa SMP dan SMA/ SMK.
Komunikasi secara intens menjadi kata kunci karena bisa mengurai ketersumbatan persoalan. Kekokohan komunikasi yang terbangun bisa mengurangi, bahkan mencegah tawuran di kalangan pelajar/ mahasiswa. (10)
– Treni Yan Puspitasari, Fitria Apriliani, dan Mar’atuwidya Nafi R, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud
(Sumber : Suara Merdeka 1 Nov 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar