Oleh Tri Marhaeni Pudji Astuti
Guru besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Tahun 2013 agaknya seperti “hantu” bagi para guru. Bagaimana tidak? Pada tahun itulah akan mulai diberlakukan peraturan baru tentang jabatan fungsional dan angka kredit guru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan & RB) Nomor 16 Tahun 2009.Dari logika waktu, peraturan menteri itu sebenarnya sudah siap dilaksanakan karena terbit tiga tahun lalu, namun ternyata banyak guru yang belum pernah membacanya. Memang bagaimana memahami dan siap melaksanakan jika membaca saja belum?
Dalam Permenpan itu disebutkan, agar menjadi profesional maka guru harus melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain dengan mengembangkan diri, membuat publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Para guru tidak akan bisa naik pangkat kalau tidak melakukan PKB. Lalu mengapa 2013 bakal menjadi “tahun hantu”, ditandai dengan banyaknya guru yang resah karena Permenpan tersebut?
Umumnya, mereka tidak biasa mendokumentasikan semua kegiatan pembelajaran, padahal sebenarnya hal itu merupakan bagian dari pengembangan profesinya. Banyak guru yang “malas” menuliskan kegiatan pembelajaran, sehingga karya-karya ilmiah dan publikasi ilmiahnya tidak terdokumentasikan.
Logika Terbalik
Dari pengalaman saya memberi pelatihan dan pembimbingan teknis tentang angka kredit jabatan fungional guru di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, lebih dari 90 persen guru berpikir dengan logika terbalik. Mereka baru tergerak untuk membuat publikasi ilmiah ketika “merasa butuh naik pangkat”, padahal mestinya publikasi itu disiapkan setiap saat dalam kapasitas mereka sebagai guru profesional. Kemudian hasil publikasi tersebut didokumentasikan, ditulis sebagai karya ilmiah, dan baru diberi penghargaan angka kredit untuk naik pangkat.
Pola pikir “membuat karya ilmiah atau publikasi ilmiah kalau mau naik pangkat” itulah yang rupanya menjadi salah satu penyebab mengapa guru-guru kita belum profesional. Logika terbalik inilah yang membuat banyak guru berhenti di golongan ruang kepangkatan IV-A, karena peraturan lama untuk naik pangkat dari III-A ke atas tidak mensyaratkan guru harus membuat karya ilmiah atau publikasi ilmiah.
Dengan peraturan yang baru, yakni Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009, untuk kenaikan pangkat mulai III-B ke atas guru harus membuat karya ilmiah dan karya inovatif. Saya khawatir, jangan-jangan ke depan para guru banyak yang berhenti di golongan ruang pangkat III-B karena “malas” membuat karya ilmiah. Kalau itu yang terjadi, maka gagallah tujuan pemerintah untuk mendorong guru menjadi lebih profesional. Selama pola pikir dengan logika terbalik ini belum diluruskan, tentu sulit mencetak guru yang profesional.
Malas Menulis
Lebih dari 80 persen guru yang saya tanya di setiap pelatihan menjawab, “malas menuliskan kegiatan pembelajran yang dilakukan”. Selebihnya menjawab “belum pernah tahu cara membuat karya ilmiah”.
Saya mencatat banyak guru yang sudah melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran, entah itu pada metode, media, atau model pembelajaran interaktif lain. Hanya persoalannya, mereka tidak menuliskan langkah-langkah, persiapan, dan pelaksanaannya, sehingga tidak ada dokumentasinya. Padahal jika mau menuliskan, para guru akan mempunyai karya ilmiah yang bagus, dan itu bisa dihargai dengan angka kredit untuk kenaikan pangkat. Ketika merasa “dioyak-oyak” untuk naik pangkat, barulah banyak yang “kelabakan” untuk menulis karya ilmiah.
Tak jarang saya juga menemukan berbagai hasil karya ilmiah guru yang dibuat dengan sistem SKS alias “Sistem Kebut Semalam” yang barang tentu hasilnya tidak maksimal. Sebagai anggota Tim Penilai Kenaikan Pangkat Guru di tingkat nasional, saya banyak menemukan hasil karya ilmiah guru “hanya copy paste” dari karya ilmiah guru yang lain. Pola-pola demikian ini merebak, karena para guru masih berpikir dengan logika “membuat karya ilmiah kalau mau naik pangkat”. Akibatnya, seperti kata orang Jawa, “kucing-kucing diraupi, mangkat …”
Zona Nyaman
Apakah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melakukan pembinaan, sosialisasi, dan pelatihan secara intensif?
Tentu saja sudah, dan saya termasuk yang terlibat dalam upaya itu, dari pulau ke pulau, dari provinsi ke provinsi, dari kabupaten ke kabupaten, kota ke kota, dalam rentang waktu dan intensitas yang menurut saya memadai. Namun harus disadari kemampuan guru memang sangat heterogen. Wilayah geografis, infrastruktur di berbagai daerah, termasuk kondisi keamanan juga menjadi kendala.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh guru? Mulailah keluar dari zona nyaman. Marilah kita menjadi guru yang haus informasi, selalu tergerak untuk berpikir out of the box. Guru harus mau dan rajin membuka internet, karena berkat kemajuan teknologi akses ini menjangkau ke seluruh pelosok wilayah.
Mengapa harus internet? Karena semua peraturan dan materi tentang pengembangan guru, kepala sekolah, dan pengawas sudah diunggah dalam website yang bisa diunduh kapan saja di mana saja. Termasuk Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009 yang lengkap dengan petunjuk, cara membuat, dan sistematika masing-masing karya ilmiah untuk guru. Persoalannya hanya tinggal “mau, atau tidak maukah guru keluar dari zona nyaman”?
(Sumber: Suara Merdeka, 19 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar