Dalam beberapa tahun terakhir, Menteri Keuangan
dirisaukan oleh pembengkakan anggaran belanja 4,7 juta pegawai negeri sipil
(PNS). Dalam APBN 2012 pos itu menyedot Rp 212,3 triliun (20,2 persen),
sementara kondisi APBD malah lebih memprihatinkan. Pada 2012, terdapat 291
daerah yang belanja pegawainya lebih dari 60 persen, dan 11 di antaranya di
atas 70 persen APBD. Yang merisaukan, anggaran besar itu tidak sebanding dengan
kualitas dan kinerja PNS.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menyebut 50 persen PNS berkualitas rendah, dan hanya 5 persen memiliki kompetensi khusus. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengangkat tenaga honorer secara besar-besaran sejak 2005; menonjolkan aspek kuantitas dam mengesampingkan faktor kualitas; kental korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga jumlah PNS membengkak dengan produktivitas rendah.
Agak sulit memahami kebijakan dan manajemen anggaran pemerintahan SBY yang memanjakan aparatur pemerintahan dengan kenaikan gaji rutin, tunjangan, bonus gaji ke-13, dan remunerasi yang mengabaikan visi kerakyatan. Bukankah pada awal pemerintahannya, ia ingin membangun ekonomi kerakyatan? Jumlah aparatur yang besar, tanpa kualitas memadai justru menghabiskan anggaran, sehingga program pembangunan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat terabaikan.
Rakyat pun tidak mendapat pelayanan memadai. Kondisi ini mendorong Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan pensiun dini untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Pensiun yang menawarkan pesangon ratusan juta rupiah ini akan mengurangi jumlah pegawai berkualitas rendah dan tidak produktif. Era reformasi birokrasi membutuhkan pegawai profesional, jujur, adil, dan merata. Hanya yang berkapabilitas, transparan, dan akuntabellah mampu memberi pelayanan berkualitas.
Membenahi kompleksitas masalah PNS tidak bisa hanya dari sisi anggaran. Menekan anggaran untuk efisiensi memang penting, namun jika solusi parsial dengan egoisme sektoral ini tidak terintegrasi, sulit rasanya menyelesaikan akar persoalan birokrasi dan kepegawaian. Mengurangi jumlah pegawai berkualitas rendah melalui pensiun dini perlu diikuti pola perekrutan baru, dan melaksanakan program pendidikan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan profesional para pegawai.
Program pensiun dini yang terintegrasi dengan program peningkatan kualitas dan penataan sumberdaya manusia akan berdampak positif pada perbaikan sistem kepegawaian yang berorientasi pada hasil. Kita jangan terjebak pada masalah anggaran. Ada aspek penting yang menjadi kunci; yakni bagaimana menumbuhkan kesadaran dan membangun budaya birokrasi secara massif sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat yang berorientasi kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. (/)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menyebut 50 persen PNS berkualitas rendah, dan hanya 5 persen memiliki kompetensi khusus. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengangkat tenaga honorer secara besar-besaran sejak 2005; menonjolkan aspek kuantitas dam mengesampingkan faktor kualitas; kental korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga jumlah PNS membengkak dengan produktivitas rendah.
Agak sulit memahami kebijakan dan manajemen anggaran pemerintahan SBY yang memanjakan aparatur pemerintahan dengan kenaikan gaji rutin, tunjangan, bonus gaji ke-13, dan remunerasi yang mengabaikan visi kerakyatan. Bukankah pada awal pemerintahannya, ia ingin membangun ekonomi kerakyatan? Jumlah aparatur yang besar, tanpa kualitas memadai justru menghabiskan anggaran, sehingga program pembangunan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat terabaikan.
Rakyat pun tidak mendapat pelayanan memadai. Kondisi ini mendorong Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan pensiun dini untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Pensiun yang menawarkan pesangon ratusan juta rupiah ini akan mengurangi jumlah pegawai berkualitas rendah dan tidak produktif. Era reformasi birokrasi membutuhkan pegawai profesional, jujur, adil, dan merata. Hanya yang berkapabilitas, transparan, dan akuntabellah mampu memberi pelayanan berkualitas.
Membenahi kompleksitas masalah PNS tidak bisa hanya dari sisi anggaran. Menekan anggaran untuk efisiensi memang penting, namun jika solusi parsial dengan egoisme sektoral ini tidak terintegrasi, sulit rasanya menyelesaikan akar persoalan birokrasi dan kepegawaian. Mengurangi jumlah pegawai berkualitas rendah melalui pensiun dini perlu diikuti pola perekrutan baru, dan melaksanakan program pendidikan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan profesional para pegawai.
Program pensiun dini yang terintegrasi dengan program peningkatan kualitas dan penataan sumberdaya manusia akan berdampak positif pada perbaikan sistem kepegawaian yang berorientasi pada hasil. Kita jangan terjebak pada masalah anggaran. Ada aspek penting yang menjadi kunci; yakni bagaimana menumbuhkan kesadaran dan membangun budaya birokrasi secara massif sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat yang berorientasi kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. (/)
(Sumber : Suara Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar