Rabu, 31 Oktober 2012

Sinergitas Mengatasi Tawur

Oleh Treni, Fitria, dan Mar’atuwidya
 
 
"Menyikapi kemerebakan tawuran antarpelajar/ mahasiswa, sebaiknya guru dan dosen introspeksi"
Kemerebakan tawur antarpelajar/ mahasiswa mengundang keprihatinan banyak pihak. Terlebih penyikapan cerdas agar kejadian itu tidak terulang merupakan proses panjang, terutama berkait tindakan pencegahan ataupun upaya penyelesaian.
Pelaku tawur merupakan bagian dari lembaga pendidikan, dan sistem pendidikan nasional mencakup keseluruhan komponen pendidikan yang saling berkait demi mencapai tujuan bersama. Realitasnya, fokus pendidikan kita masih mengejar target kompetensi akademik, belum banyak menyentuh pendidikan karakter.  Merupakan kesalahan besar bila ada anggapan bahwa pendidikan karakter hanya untuk jenjang pendidikan dasar. Pada jenjang SD, kita bisa melihat guru mendidik, membina, dan mengajar murid dengan kasih sayang.
Setelah peserta didik itu melanjutkan ke SMP dan SMA/ SMK, pendidikan karakter seakan-akan menjadi tugas dan tanggung jawab guru mapel Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan guru mapel Pendidikan Agama. Demikian halnya bila ada peserta didik melanggar tata tertib sekolah maka yang menangani, termasuk menjatuhkan sanksi adalah guru BP/ BK.
Dalam praktik hanya ada ’’sedikit’’ guru di satuan pendidikan yang peduli terhadap peserta didik, kendati sekolah merupakan rumah kedua. Guru pun bisa kita anggap sebagai orang tua kedua. Karena itu, membangun karakter peserta didik menjadi tugas bersama pendidik dan orang tua, guna mempersiapkan generasi berkarakter, sekaligus beriman dan cerdas.
Karena itu, diperlukan sinergitas secara konkret untuk bisa mencegah, atau mengatasi perkelahian antarpelajar/ mahasiswa. Pasalnya, pelajar dan mahasiswa merupakan generasi penerus yang diharapkan berkarakter unggul, mengedepankan logika dalam berpikir dan bertindak, serta bisa mengendalikan emosi.
Menyikapi kemerebakan tawuran antarpelajar/ mahasiswa, sebaiknya guru dan dosen introspeksi apakah sudah melaksanakan tugas secara maksimal. Sudahkan guru atau dosen memanusiakan peserta didik/ mahasiswa, menghargai, memotivasi, dan memberi kesempatan mereka beradu argumen?
Yang tidak kalah penting adalah dialog langsung untuk mendengarkan aspirasi mereka. Pasalnya, guru dan dosen kadang lebih disibukkan oleh kegiatan mentransfer ilmu semata, dan sebagian mengabaikan arti penting membangun komunikasi setara dengan siswa dan mahasiswa.
Peran Masyarakat
Untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, kita harus mengimplementasikan pendidikan karakter di semua mata pelajaran guna menghindari kesenjangan. Hal tersebut mengingat visi dan misi satuan pendidikan bermuara pada ketercapaian peserta didik yang berkarakter mulia, sekaligus cerdas dan beriman.
Di sisi lain, masyarakat seyogianya aktif dan memberi dukungan terkait dengan pelaksanaan pendidikan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. Perwujudan itu bisa dengan cara melibatkan pelajar/ mahasiswa dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Terlebih mahasiswa yang lebih bisa menggunakan akal sehat, logika, dan nurani sebelum bertindak atau mengambil keputusan. Hal ini berbeda dari kebanyakan siswa SMP atau SMA/ SMK, terkait dengan tingkat kedewasaan mereka, yang berpengaruh terhadap emosi dan ego.
Pihak sekolah dan kampus sebaiknya menjatuhkan sanksi tegas tapi mendidik bila ada siswa atau mahasiswa terlibat tawuran. Pemberian sanksi sebaiknya berjenjang sesuai dengan kadar kenakalan mereka. Pihak kampus juga bisa memfasilitasi mahasiswa supaya mengikuti kegiatan yang positif, semisal seminar, penelitian, kegiatan olahraga, rekreatif, dan sebagainya. Lebih baik lagi bila kegiatan itu bisa mengekspresikan potensi mereka. Pola serupa bisa diterapkan untuk siswa SMP dan SMA/ SMK.
Komunikasi secara intens menjadi kata kunci karena bisa mengurai ketersumbatan persoalan. Kekokohan komunikasi yang terbangun bisa mengurangi, bahkan mencegah tawuran di kalangan pelajar/ mahasiswa. (10)

– Treni Yan Puspitasari, Fitria Apriliani, dan Mar’atuwidya Nafi R, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud
(Sumber : Suara Merdeka 1 Nov 2012)

Kurikulum Baru Masih Digodok


YOGYAKARTA - Anak-anak SD sebentar lagi tak terbebani dengan banyaknya pelajaran. Pemerintah segera mengeluarkan kurikulum baru yang hanya terdiri atas enam mata pelajaran, yakni Agama, Pancasila, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni dan Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Prof Dr Ir Musliar Kasim MS mengungkapkan hal itu dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) Ke-7 di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta, semalam.
”Sementara ini masih kami godok dan diskusikan dengan berbagai pihak. Ada yang setuju dengan penyederhanaan mata pelajaran kelas I-VI, namun ada yang mewacanakan cukup sampai kelas III saja,” ujar Musliar.
Gagasan penyederhanaan muncul setelah melihat betapa beratnya beban siswa SD yang harusnya masih menikmati masa anak-anak. Dia mengatakan, seharusnya anak usia SD hingga SMA berangkat ke sekolah dengan perasaan senang, tidak tertekan, dan tidak takut.
Selama ini dia melihat dan merasakan sendiri pada anaknya yang bersekolah di sekolah negeri, berangkat dengan perasaan berat dan penuh tekanan. Berbeda halnya dengan anaknya yang belajar di sekolah internasional, berangkat dengan perasaan senang, tak ada takut.
Sekolah Nyaman
Menurut Musliar, sekolah idealnya menjadi tempat yang nyaman bagi anak didik. Ketika seseorang merasa nyaman, otomatis mudah menerima mata pelajaran. Dia mencontohkan siswa sekarang di sekolah belajar, di rumah ikut berbagai kegiatan, dan malam hari masih harus mengerjakan PR.
Dia menjelaskan, enam mata pelajaran tersebut terintegrasi, misalnya dalam pelajaran bahasa Indonesia anak-anak sekaligus belajar tentang alam dan lingkungan. Sederhana saja misalnya mengenali nama-nama tumbuhan, binatang, anggota tubuh dan lainnya. Sejak usia dini itulah anak-anak sekaligus belajar berkomunikasi dengan baik. Pasalnya, selama ini banyak lulusan S-1 tak bisa berkomunikasi dengan baik, karena sejak dini tidak mempelajarinya.
”Selain enam mata pelajaran itu, juga ada aspek lain yakni moral dan keberagaman yang juga diberikan sejak dini,” tuturnya.
Konaspi merupakan pertemuan empat tahunan Asosiasi Lembaga PendidikanTenaga Kependidikan Indonesia. Pesertanya 12 kampus yang dulunya IKIP dan sekarang menjadi universitas. Tuan rumah kali ini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). (D19-37)
(Sumber : Suara Merdeka 1 Nov 2012)

Unnes Beri Penghargaan Dosen Penulis Artikel


 
SEMARANG - Universitas Negeri Semarang (Unnes) memberikan penghargaan kepada para dosen yang aktif memublikasikan karya tulis berupa artikel di jurnal terakreditasi internasional dan artikel ilmiah populer di media massa nasional.
Penghargaan disampaikan oleh Pembantu Rektor I Bidang Akademik Dr Agus Wahyudin pada upacara peringatan Sumpah Pemuda, Senin (29/10), di halaman rektorat kampus Sekaran.
Mereka yang mendapatkan penghargaan itu adalah Prof Tri Marhaeni Pudji Astuti, Moh Yasir Alimi (FIS), Prof St Budi Waluyo, Prof Supartono, Masturi, Nanik Wijayati, Dwi Yulianti, Niken Subekti, Adi Nur Cahyono (FMIPA), Zulfa Sakhiya (FBS), Fatma Hetami, Intan Permata Hapsari, dan Issi Yuliasry (FBS).
Selain itu, Siti Baitul Mukaromah, Sulaiman (FIK), Widi Astuti, RR Dewi Artanti Putri, Dewi Selvia Fardhayanti (FT), Siti Nuzulia, Rahmawati Prihastuty, Liftiah, Yuli Kuniawati Sugiyo Pranoto, Sungkowo Edy Mulyono (FIP), dan Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti (FE).
Pada saat yang sama, Unnes juga memberikan penghargaan kategori dosen dengan kinerja pembelajaran kepada Robertus Widyadarsana, Alim Sukrisno, Juhadi, Arif Agoestanto, Prof Samsudi, Sulaiman, TarsisTarmudji, dan Cahya Wulandari.
Kepada mahasiswa, juga diberikan penghargaan atas capaian indeks prestasi yang sangat tinggi.
“Hadiah berupa uang kepada dosen dan mahasiswa yang berprestasi ini sebagai wujud apresiasi sekaligus motivasi. Apresiasi terhadap yang telah berkarya dan menyebarkannya kepada khalayak dan motivasi kepada yang lain agar mengikuti jejak mereka,” ungkap Dr Agus Wahyudin, seusai upacara.
(Sumber : Suara Merdeka 30 Okt 2012)

Guru, Keluarlah dari Zona Nyama

Oleh Tri Marhaeni Pudji Astuti

Guru besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes

Tahun 2013 agaknya seperti “hantu” bagi para guru. Bagaimana tidak? Pada tahun itulah akan mulai diberlakukan peraturan baru tentang jabatan fungsional dan angka kredit guru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan & RB) Nomor 16 Tahun 2009.
Dari logika waktu, peraturan menteri itu sebenarnya sudah siap dilaksanakan karena terbit tiga tahun lalu, namun ternyata banyak guru yang belum pernah membacanya. Memang bagaimana memahami dan siap melaksanakan jika membaca saja belum?
Dalam Permenpan itu disebutkan, agar menjadi profesional maka guru harus melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain dengan mengembangkan diri, membuat publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Para guru tidak akan bisa naik pangkat kalau tidak melakukan PKB. Lalu mengapa 2013 bakal menjadi “tahun hantu”, ditandai dengan banyaknya guru yang resah karena Permenpan tersebut?
Umumnya, mereka tidak biasa mendokumentasikan semua kegiatan pembelajaran, padahal sebenarnya hal itu merupakan bagian dari pengembangan profesinya. Banyak guru yang “malas” menuliskan kegiatan pembelajaran, sehingga karya-karya ilmiah dan publikasi ilmiahnya tidak terdokumentasikan.
Logika Terbalik
Dari pengalaman saya memberi pelatihan dan pembimbingan teknis tentang angka kredit jabatan fungional guru di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, lebih dari 90 persen guru berpikir dengan logika terbalik. Mereka baru tergerak untuk membuat publikasi ilmiah ketika “merasa butuh naik pangkat”, padahal mestinya publikasi itu disiapkan setiap saat dalam kapasitas mereka sebagai guru profesional. Kemudian hasil publikasi tersebut didokumentasikan, ditulis sebagai karya ilmiah, dan baru diberi penghargaan angka kredit untuk naik pangkat.
Pola pikir “membuat karya ilmiah atau publikasi ilmiah kalau mau naik pangkat” itulah yang rupanya menjadi salah satu penyebab mengapa guru-guru kita belum profesional. Logika terbalik inilah yang membuat banyak guru berhenti di golongan ruang kepangkatan IV-A, karena peraturan lama untuk naik pangkat dari III-A ke atas tidak mensyaratkan guru harus membuat karya ilmiah atau publikasi ilmiah.
Dengan peraturan yang baru, yakni Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009, untuk kenaikan pangkat mulai III-B ke atas guru harus membuat karya ilmiah dan karya inovatif. Saya khawatir, jangan-jangan ke depan para guru banyak yang berhenti di golongan ruang pangkat III-B karena “malas” membuat karya ilmiah. Kalau itu yang terjadi, maka gagallah tujuan pemerintah untuk mendorong guru menjadi lebih profesional. Selama pola pikir dengan logika terbalik ini belum diluruskan, tentu sulit mencetak guru yang profesional.
Malas Menulis
Lebih dari 80 persen guru yang saya tanya di setiap pelatihan menjawab, “malas menuliskan kegiatan pembelajran yang dilakukan”. Selebihnya menjawab “belum pernah tahu cara membuat karya ilmiah”.
Saya mencatat banyak guru yang sudah melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran, entah itu pada metode, media, atau model pembelajaran interaktif lain. Hanya persoalannya, mereka tidak menuliskan langkah-langkah, persiapan, dan pelaksanaannya, sehingga tidak ada dokumentasinya. Padahal jika mau menuliskan, para guru akan mempunyai karya ilmiah yang bagus, dan itu bisa dihargai dengan angka kredit untuk kenaikan pangkat. Ketika merasa “dioyak-oyak” untuk naik pangkat, barulah banyak yang “kelabakan” untuk menulis karya ilmiah.
Tak jarang saya juga menemukan berbagai hasil karya ilmiah guru yang dibuat dengan sistem SKS alias “Sistem Kebut Semalam” yang barang tentu hasilnya tidak maksimal. Sebagai anggota Tim Penilai Kenaikan Pangkat Guru di tingkat nasional, saya banyak menemukan hasil karya ilmiah guru “hanya copy paste” dari karya ilmiah guru yang lain. Pola-pola demikian ini merebak, karena para guru masih berpikir dengan logika “membuat karya ilmiah kalau mau naik pangkat”. Akibatnya, seperti kata orang Jawa, “kucing-kucing diraupi, mangkat …”
Zona Nyaman
Apakah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melakukan pembinaan, sosialisasi, dan pelatihan secara intensif?
Tentu saja sudah, dan saya termasuk yang terlibat dalam upaya itu, dari pulau ke pulau, dari provinsi ke provinsi, dari kabupaten ke kabupaten, kota ke kota, dalam rentang waktu dan intensitas yang menurut saya memadai. Namun harus disadari kemampuan guru memang sangat heterogen. Wilayah geografis, infrastruktur di berbagai daerah, termasuk kondisi keamanan juga menjadi kendala.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh guru? Mulailah keluar dari zona nyaman. Marilah kita menjadi guru yang haus informasi, selalu tergerak untuk berpikir out of the box. Guru harus mau dan rajin membuka internet, karena berkat kemajuan teknologi akses ini menjangkau ke seluruh pelosok wilayah.
Mengapa harus internet? Karena semua peraturan dan materi tentang pengembangan guru, kepala sekolah, dan pengawas sudah diunggah dalam website yang bisa diunduh kapan saja di mana saja. Termasuk Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009 yang lengkap dengan petunjuk, cara membuat, dan sistematika masing-masing karya ilmiah untuk guru. Persoalannya hanya tinggal “mau, atau tidak maukah guru keluar dari zona nyaman”?
(Sumber: Suara Merdeka, 19 Oktober 2012)

Penilaian Kinerja Guru, Siapa Takut?

Oleh Tri Marhaeni Pudji Astuti 

Guru besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes

Membaca berita di Suara Merdeka, edisi Rabu, 24 Oktober 2012 yang menjadi headline halaman Edukasia, “Penilaian Kinerja Guru Diperketat”, saya merasa tergelitik. Judul berita itu seolah-olah “menakut-nakuti” para guru, padahal sebenarnya tidaklah seseram yang dibayangkan.
Tentulah yang dibutuhkan oleh guru adalah informasi yang membumi, menyejukkan, dan memotivasi, bukan “menakut-nakuti”. Sebenarnya jika guru sudah membaca Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan & RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, tak seharusnyalah muncul kerisauan. Persoalannya, banyak guru belum membaca peraturan tersebut, sementara informasi yang sering tersampaikan seolah-olah “seram dan menakutkan” agar guru “mau membaca dan melaksanakan”.
Mengapa Takut?
Dalam ranah apa pun, penilaian kinerja merupakan hal wajar, sebagai ukuran untuk menilai kemampuan seseorang dalam bekerja. Demikian pula penilaian kinerja guru, yakni penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian Kinerja Guru (PKG) bukan untuk menyulitkan melainkan sebaliknya, untuk mewujudkan guru yang profesional. Lebih jauh lagi penilaian itu justru merupakan penghargaan atas profesionalitas guru sebagai penghargaan atas prestasi kerja. Penilaian itu juga dipakai sebagai bahan pengembangan karier dan promosi untuk kenaikan pangkat dan jabatan.
Angka kredit untuk kenaikan pangkat diperoleh dari pendidikan, PKG, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), dan unsur-unsur penunjang. Manakala guru sudah melakukan PKB dengan baik, benar, dan konsisten, saya yakin penilaian kinerjanya juga baik. Persoalan mendasar bukanlah guru tidak bisa melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan melainkan pada konsistensi mendokumentasikan kegiatan tersebut. Padahal penilaian kinerja didasarkan pada dokumentasi dan instrumen yang banyak didukung oleh dokumen.
Andai guru sudah terbiasa menuliskan tiap kegiatan pembelajaran, saya yakin PKG bukanlah “hantu yang menakutkan” melainkan akan menjadi “sesuatu yang diharapkan” karena justru dengan PKG akan terlihat perbedaan guru yang profesional dan yang tidak profesional. Maka janganlah berkutat pada ketakutan-ketakutan yang tidak perlu tetapi mulailah “menuliskan” kegiatan pembelajaran sebagai bagian dari pengembangan profesi.
Jenis PKB
Dari pengalaman saya berbagi pengetahuan dengan guru di berbagai pelosok Tanah Air lewat pelatihan-pelatihan, ternyata masih banyak yang belum paham: apa itu PKB? Apa saja jenisnya? Bagaimana cara membuatnya?
Ketidakpahaman ini, saya yakin bukan karena ketidakmampuan guru melainkan informasi, atau lebih tepatnya sosialisasi tentang PKB memang masih belum memadai. Andaikata sudah ada sosialisasi pun, terkadang dilakukan dengan penuh “kesangaran”, seolah-olah PKB adalah “makhluk” yang menakutkan.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan meliputi tiga hal yakni, pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Masing-masing unsur tersebut secara rinci dan lengkap sudah dijelaskan dalam Buku 4 dan Buku 5 Lampiran Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009.
Apa definisi masing-masing unsur tersebut, apa saja jenisnya, besaran angka kredit, dan sistematika atau kerangka penyusunannya, semua sudah ada. Guru tinggal memilih dan mempelajari, terutama membaca dulu. Tidak harus Penelitian Tindakan Kelas, bisa jenis publikasi ilmiah atau karya inovatif yang ada. Tentu apa yang dilakukan itu kemudian ditulis dan didokumentasikan.
Peran LPTK
Dari kenyataan itu, alangkah lebih baik andai calon guru sudah mendapat bekal memadai tentang peraturan-peraturan yang terkait dengan peningkatan keprofesian. Kalau sejak masih menjadi mahasiswa calon guru sudah terbiasa dengan berbagai hal terkait dengan pengembangan profesi, termasuk Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009, saya yakin ketika menjadi guru mereka menjadi terbiasa. Ada pepatah kuno yang bagi saya tetap aktual, “alah bisa karena biasa”.
Karenanya, peran institusi penghasil guru, yakni Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK), menjadi sangat penting dan strategis dalam membantu calon guru untuk menjadi profesional, tidak saja dalam ilmu pengetahuan tetapi juga terkait dengan beberapa peraturan yang harus dihadapi ketika mereka menjadi guru. Pengajar di LPTK harus meng-up date pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang terkait dengan guru, menjadikannya sebagai bagian dari mata kuliah proses belajar mengajar.
Dengan demikian LPTK dituntut untuk selalu meng-up date materi terkait pengembangan keprofesian guru, agar calon guru yang dihasilkan benar-benar mempunyai ilmu pengetahuan dan bekal keprofesian memadai. Alangkah baiknya apabila ada mata kuliah “keprofesian” di tiap jurusan di LPTK. Maka mari kita melakukan sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil. . (Sumber: Suara Merdeka, 30 Oktober 2012)

Kamis, 11 Oktober 2012

FOTO LOKAKARYA SEMARANG

UJIAN NASIONAL 2013

UN 2013 Tetap Digelar, 20 Variasi Soal Disiapkan

JakartaPemerintah tetap berencana menyelenggarakan Ujian Nasional tahun depan. Sejumlah perubahan dilakukan, salah satunya 20 variasi soal, berbeda dengan UN tahun 2012 yang memiliki lima variasi soal.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menyampaikan, secara legal yuridis pelaksanaan UN ada dasar undang-undang dan peraturan pemerintahnya. Kemudian dari sisi akademik sampai bentuk soal pilihan ganda juga ada dasarnya. “Insya Allah tahun depan UN tetap dilakukan, tetapi ada beberapa perubahan,” katanya saat memberikan keterangan pers di Gedung A Kemdikbud, Jakarta, (11/10).
Jika pada tahun ini hanya ada lima macam variasi soal untuk 20 peserta didik dalam satu kelas, maka pada tahun depan disiapkan 20 macam variasi soal. “Setiap peserta didik dalam satu kelas akan mengerjakan soal yang berbeda semua. Ini yang diuji kemampuan perseorangan, bukan kolektif. Kita ingin tingkatkan kekhusyukan peserta,” katanya.
Adapun terkait standar kelulusan, Mendikbud mengatakan, ada kemungkinan untuk meningkatkan dari 5,5 menjadi 6. Alternatif lainnya, standar nilainya tetap 5,5 tetapi derajat kesulitan soal ditingkatkan.  Pada tahun ini proporsi tingkat kesulitan soal adalah 10 persen mudah, 80 persen sedang, dan 10 persen sukar. Formulasi pada tahun depan kemungkinan menjadi 10 persen mudah, 70 persen sedang, dan 20 persen sukar. “Masih belum, akan kami matangkan bersama dengan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Pemikiran untuk meningkatkan ada, dengan kemungkinan tingkat kesulitan,” katanya.
Mendikbud menambahkan, seleksi penerimaan calon mahasiswa baru pada tahun depan dibagi menjadi tiga jalur. Sebanyak 50 persen akan menggunakan jalur undangan, 30 persen jalur ujian tertulis, dan 20 persen jalur mandiri. Mendikbud menyebutkan, nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa IPB yang diterima melalui jalur undangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan signifikan.  “Melalui jalur undangan,  yang dipakai untuk menentukan kelulusan adalah nilai UN dan rapor.”
Ketua BSNP Muhammad Aman Wirakartakusumah mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan kisi-kisi soal UN dan diharapkan selesai pada November mendatang. Menurut dia, kisi-kisi soal UN tidak jauh berbeda dengan kisi-kisi soal tahun ini karena kisi-kisi tersebut dikembangkan dari standar isi. "Kisi-kisi hanya bersifat lebih operasional. Bank dari kisi-kisi sudah ada," katanya. (PIH)
Sumber : Kemdikbud